Tanggal 12 Rabiulawwal 1447 H kembali hadir sebagai momentum yang sarat makna bagi umat Islam di seluruh dunia. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW bukan sekadar seremonial atau tradisi yang dilaksanakan setiap tahun, melainkan sebuah refleksi mendalam tentang bagaimana umat Islam mengaktualisasikan nilai-nilai kenabian dalam kehidupan nyata. Pertanyaan mendasarnya adalah: apakah peringatan ini hanya berhenti pada simbol dan ritus, atau benar-benar menjadi energi perubahan sosial yang nyata?
Di era kekinian, kita menghadapi krisis multidimensi. Korupsi yang merajalela, polarisasi politik yang tajam, degradasi moral generasi muda, hingga kesenjangan sosial yang semakin lebar. Semuanya menuntut jawaban yang berakar dari nilai-nilai universal Islam yang dicontohkan Nabi. Momentum Maulid Nabi seharusnya menjadi tombol dan alarm kesadaran bahwa teladan Rasulullah tidak boleh berhenti pada narasi romantis, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan dan kerja-kerja nyata.
Salah satu kritik tajam terhadap perayaan Maulid adalah kecenderungan umat untuk terjebak dalam kemeriahan seremonial. Panggung-panggung perayaan dipenuhi dekorasi indah, lantunan shalawat bergema di masjid-masjid, tetapi ironisnya, di luar itu umat masih berhadapan dengan praktik intoleransi, ujaran kebencian, dan ketidakadilan sosial. Inilah paradoks yang seringkali membuat perayaan Maulid kehilangan daya transformasi.
Rasulullah hadir sebagai figur yang menegakkan keadilan, membebaskan kaum tertindas, serta menanamkan nilai kasih sayang lintas perbedaan. Jika ajaran ini benar-benar diinternalisasi, seharusnya kita melihat perbaikan nyata dalam tata kelola masyarakat. Tetapi faktanya, praktik-praktik yang jauh dari spirit kenabian justru semakin marak. Inilah yang menunjukkan bahwa kita sering lebih sibuk mempercantik simbol ketimbang memperdalam substansi.
Momentum 12 Rabiulawwal tahun ini juga penting dibaca dalam konteks global. Dunia sedang dilanda konflik yang mengatasnamakan agama, krisis kemanusiaan yang memakan banyak korban, dan arus informasi digital yang kerap memproduksi kebencian. Rasulullah telah mencontohkan bagaimana menghadapi perbedaan dengan bijak, mengutamakan dialog, serta membangun masyarakat yang inklusif. Sayangnya, nilai ini kerap terpinggirkan oleh narasi sempit dan ego sektarian.
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap tantangan generasi muda Muslim yang hari ini banyak terjebak dalam budaya instan, budaya pamer di media sosial, hingga krisis identitas spiritual. Padahal, Rasulullah adalah sosok yang mengajarkan integritas, kesederhanaan, dan kecerdasan sosial. Refleksi Maulid seharusnya mendorong para pendidik, orang tua, dan pemimpin umat untuk menjadikan teladan Nabi sebagai landasan dalam membentuk generasi yang berkarakter dan kritis menghadapi perubahan zaman. Dan di Indonesia sendiri, Maulid Nabi sering menjadi momentum pemersatu masyarakat.
Maulid juga dapat menjadi pintu masuk untuk meninjau ulang arah pembangunan bangsa. Nabi Muhammad tidak hanya mengajarkan ritual keagamaan, tetapi juga membangun masyarakat yang berperadaban. adil secara hukum, sejahtera secara ekonomi, dan beradab secara budaya. Jika teladan ini dihidupkan, maka peringatan Maulid tidak hanya menghidupkan nostalgia, tetapi juga membangkitkan agenda transformasi sosial yang nyata.
Pada tataran praktis, Maulid Nabi bisa dijadikan momentum untuk menghidupkan kembali semangat gotong royong, kepedulian sosial, dan solidaritas lintas komunitas. Misalnya, memperingati Maulid dengan aksi sosial, pemberdayaan ekonomi umat, atau gerakan literasi dan pendidikan. Ini lebih sesuai dengan spirit Nabi yang selalu mengutamakan aksi nyata ketimbang seremonial belaka.
Namun, semua itu membutuhkan keberanian untuk melakukan otokritik. Jangan sampai Maulid hanya menjadi perayaan rutinitas yang miskin makna. Sudah saatnya umat menjadikan refleksi ini sebagai gerakan bersama, agar nilai-nilai risalah kenabian tidak sekadar diceramahkan, tetapi benar-benar dihidupkan dalam keseharian.
Akhirnya, 12 Rabiulawwal 1447 H ini menuntut kita untuk menjawab satu pertanyaan penting: sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah dalam kehidupan nyata? Jika jawabannya masih jauh dari harapan, maka momentum ini harus menjadi titik balik. Sebab, Nabi hadir bukan sekadar untuk dikenang, tetapi untuk dijadikan pedoman hidup dalam membangun masyarakat yang berkeadaban.
Momentum 12 Rabiulawwal 1447 H: Menghidupkan Teladan Nabi di Tengah Krisis Moral dan Sosial