Dunia kampus seharusnya menjadi ruang paling bebas ide, pengetahuan, dan kreativitas untuk berkembang. Namun, dalam praktiknya, banyak perguruan tinggi justru terjebak dalam pola pendidikan parsial sehingga melahirkan berbagai macam prototipe.
Prototipe pertama adalah kampus yang akademik-sentris. Fokus utama adalah pada pencapaian IPK, publikasi jurnal, dan tumpukan teori. Mahasiswa dilatih menjadi penghafal teori dan pengumpul sitasi, tetapi sering gagap saat berhadapan dengan masalah praktis di dunia kerja dan masyarakat. Hasilnya adalah lulusan yang “pintar di kertas” tetapi bingung saat berada di lapangan.
Prototipe kedua adalah kampus yang skill-sentris, biasanya terlihat di perguruan tinggi vokasi atau kampus yang terlalu terobsesi dengan link and match industri. Mahasiswa dilatih untuk langsung “siap kerja” dengan keterampilan teknis tertentu. Sekilas terlihat relevan, namun keterampilan itu sering cepat usang karena perkembangan teknologi. Tanpa kemampuan berpikir kritis dan adaptif, lulusan mudah tergantikan oleh mesin, AI, atau pekerja yang lebih fleksibel.
Prototipe ketiga adalah kampus yang ideologi-sentris. Pendidikan diwarnai oleh penanaman ide-ide tertentu baik politik, agama, maupun ekonomi dengan cara yang seringkali menyingkirkan pandangan lain. Akibatnya, mahasiswa tumbuh dalam “gelembung kebenaran” yang sempit, tidak terbiasa berdialog dengan perbedaan, dan rawan terjebak dalam fanatisme.
Ketiga prototipe ini, meski berbeda orientasi, sama-sama parsial karena tidak membentuk manusia seutuhnya. Dunia kampus seharusnya mampu menggabungkan kekuatan akademik, keterampilan praktis, dan keluasan pandangan, bukan hanya satu atau dua.
Masalah ini semakin diperparah oleh fenomena kurikulum bongkar-pasang. Dalam dua dekade terakhir, kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia telah beberapa kali mengalami revisi besar. Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), hingga Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Setiap kali ganti menteri atau pejabat tinggi, kurikulum seperti diganti demi “branding” baru.
Masalahnya, perubahan ini sering tidak diiringi evaluasi menyeluruh atau transisi yang matang. Kampus dan dosen terpaksa menyesuaikan diri secara tergesa-gesa, mengubah Rencana Pembelajaran Semester (RPS), mata kuliah, bahkan struktur program studi, hanya untuk menyesuaikan dengan kebijakan terbaru yang belum tentu bertahan lama.
Fenomena ini menciptakan learning discontinuityq di perguruan tinggi. Mahasiswa angkatan tertentu belajar dengan model kurikulum lama, sementara angkatan berikutnya sudah menggunakan format baru. Akibatnya, kualitas lulusan sulit diukur secara konsisten, dan proses pembelajaran menjadi seperti proyek yang selalu “setengah jadi”.
Ironisnya, banyak perubahan kurikulum di kampus bersifat kosmetik mengganti istilah tanpa mengubah pendekatan. Misalnya, “kompetensi inti” menjadi “capaian pembelajaran” atau “magang industri” menjadi “kampus merdeka”.
Jika pola parsial ini bertemu dengan kurikulum bongkar-pasang, hasilnya adalah lulusan yang serba tanggung. Mereka tidak cukup mendalam dalam akademik, tidak cukup adaptif secara keterampilan, dan tidak cukup matang secara mental untuk menghadapi keragaman dan kompleksitas dunia nyata.
Solusinya bukan sekadar membuat “kurikulum baru” setiap lima tahun, tetapi membangun visi pendidikan tinggi jangka panjang yang konsisten lintas pemerintahan. Kurikulum harus dirancang sebagai living document yang bisa disesuaikan tanpa harus dirombak total, sehingga kampus dan dosen bisa fokus pada substansi pembelajaran, bukan sekadar administrasi penyesuaian.
Kampus harus keluar dari jebakan pendidikan parsial. Mahasiswa perlu diposisikan sebagai individu yang belajar untuk menjadi pemikir, pelaku, dan warga yang bertanggung jawab sekaligus. Pendidikan tinggi seharusnya menumbuhkan rasa ingin tahu, kemampuan adaptif, dan kepekaan sosial tiga hal yang hanya bisa lahir dari integrasi, bukan fragmentasi. Jika tidak, dunia kampus akan tetap menjadi ladang percobaan kebijakan, bukan taman yang menumbuhkan masa depan bangsa.
...
Pendidikan Parsial dan Kurikulum Bongkar-Pasang