Penulis: Abd. Karim, S.Pd.,M.Hum (Dosen Sejarah Peradaban Islam IAIN Parepare) Mahasiswa menjadi klien yang berharga, bukanny...
Penulis: Abd. Karim, S.Pd.,M.Hum (Dosen Sejarah Peradaban Islam IAIN Parepare)
Mahasiswa menjadi
klien yang berharga, bukannya pembelajar, mereka mendapatkan kepercayaan diri
besar tetapi sedikit ilmu. Buruk lagi, mereka tidak mengembangkan kebiasaan
berpikir kritis yang bisa menjadi bekal mereka untuk terus belajar (Nichols,
2017: The Dead of Expertise). Argumen Nichols tentu menjadi tamparan
telak bagi sebahagian mahasiswa yang sampai saat ini tidak lagi menggunakan
nalarnya. Matinya nalar itu pada
akhirnya akan menyeret mahasiswa ke dalam jurang ketersesatan kemudian
universitas atau perguruan tinggi hanya akan menghasilkan calon tenaga kerja dengan
kualitas rendah bahkan kemungkinan “sukses” menjadi pengangguran.
Tidak berkembangnya
kreativitas akibat nalar yang “jongkok” merupakan dampak tidak berkembangnya
kognitif mahasiswa. Manusia purba jenis Homo Sapiens dapat bertahan
hidup dengan kondisi lingkungan tertentu karena mengalami revolusi kognitif
sehingga mereka memiliki kemampuan untuk berkomunikasi (Harari, 2017 Sapiens).
Kemampuan itu kemudian membuat kelompok manusia purba ini bertahan di berbagai
kondisi wilayah. Tentu saja kurang tepat menyandingkan mahasiswa dengan manusia
purba tetapi hal itu bisa saja terjadi apabila kreativitas mahasiswa yang
merupakan hasil kognisi tidak berkembang sejak mereka tamat dari pendidikan
Sekolah Menengah Atas.
Pemerintah Hindia
Belanda juga pernah mencoba untuk mengurung kognisi bangsa Indonesia dengan
mengeluarkan kebijakan Politik Etis. Salah satu kebijakan yang diberikan kepada
bangsa Indonesia yakni membuka sekolah khusus kaum bumi putra, -saya lebih suka
menggunakan istilah ini dibandingkan pribumi- sederhananya Belanda ingin
melakukan balas budi kepada Indonesia yang terus menyuplai kas negara melalui
program-program kolonialisasinya. Masyarakat tentu saja senang dengan hal
tersebut tetapi Belanda memiliki tujuan lain yakni menghasilkan tenaga kerja murah
dari sekolah-sekolah kaum bumi putra. Program itu cukup berhasil dan
menghasilkan tenaga kerja yang kognisinya dikurung dan dapat dibayar murah.
Pada umumnya pekerja itu hanya menjadi juru tulis saja. Meskipun pada akhirnya
tokoh-tokoh nasional lahir dari sekolah-sekolah itu sendiri.
Tokoh nasional yang
lahir dari sekolah itu dianggap sebagai produk berbahaya. Mereka pada akhirnya
menentang pemerintah Hindia Belanda. Kondisi itu terjadi karena kognisi mereka
tidak berhasil dikurung, kreativitas mereka jalan dan nalar mereka hidup.
Mereka paham betul cara memposisikan diri sebagai kaum intelektual bukan hanya
sebagai kaum pekerja yang kerjanya hanya menjadi juru tulis bagi pegawai rendah
pemerintah Hindia Belanda. Sangat mencolok bukan, persamaan antara tokoh
nasional dan manusia purba. Kognisi mereka berkembang bahkan terjadi revolusi
kognisi, keduanya berbeda tetapi memiliki kesamaan. Apakah Mahasiswa hari ini
juga demikian.
Kebijakan
pembelajaran diterapkan di Indonesia setelah munculnya kasus pasien yang
terjangkit virus Covid-19 (Corona Virus Disease 19) atau yang kita kenal
dengan nama Virus Corona. Status virus ini meningkat hingga mencapai pandemi
sehingga pemerintah menganjurkan melakukan aktivitas di rumah termasuk bekerja,
belajar dan lain sebagainya. Kondisi itu memaksa dosen dan mahasiswa untuk
melakukan pembelajaran dalam jaringan (daring). Pemerintah tidak tidak tinggal
diam dengan membuka akses Online bagi siswa dan mahasiswa untuk belajar Online
secara gratis.
Kebijakan itu
memperoleh berbagai macam respons, salah satunya mahasiswa merasa pembelajaran
itu tidak efektif karena tidak adanya tatap muka langsung. Kritik tersebut
tentu tidak relevan dengan kondisi negara saat ini. Ini adalah salah satu
contoh jiwa kritis mahasiswa yang tajam tetapi minim pengetahuan. Kognisinya
berjalan tetapi tidak dibarengi dengan pengetahuan yang cukup luas. Respons
selanjutnya, yakni mereka merasa berat dengan beban tugas yang bertambah,
aplikasi yang sulit dioperasikan, jaringan yang tidak mendukung dan lain
sebagainya.
Masalah tersebut
merupakan hal teknis yang dirasakan oleh mahasiswa. Sedangkan teknologi yang
mereka gunakan juga dapat memberi petunjuk penggunaan aplikasi. Tidak banyak
mahasiswa yang menggunakan fasilitas tutorial tersebut. Pada kondisi itulah
kognisi mereka harus berjalan dengan baik agar dapat mengatasi masalah teknis
dan membangkitkan kreativitas. bahkan lebih parah lagi, mereka terkesan tidak
membaca petunjuk sebelum mengeluh. Nampaknya mahasiswa sangat “manja” dengan
kondisi baru. Mereka tidak siap dengan kondisi baru karena sering berhadapan
dengan hal instan tentu tidak termasuk makanan instan (Mie Instan).
Teknologi pada
dasarnya selalu berkembang dan menyediakan berbagai macam yang dapat diperoleh
dengan cepat. Kebutuhan sehari, alat-alat rumah tangga, kecantikan, buku,
makanan dan lain sebagainya dapat kita peroleh dengan sekali pencet. Tetapi
ketika dihadapkan pada kondisi pembelajaran mahasiswa justru mengeluh dengan
sistemnya yang tidak efektif. Mengapa mereka hanya kritis pada sistem yang
merugikan mereka, tidak kritis pada sistem yang menguntungkan mereka. Lebih
buruk lagi mahasiswa melupakan hal substansial. Sebaiknya Mahasiswa lebih
sering mengasah nalar, sesering mereka mengonsumsi mie instan agar tidak
lebih buruk dari manusia purba dan tokoh nasional. Satu lagi hal yang cukup
penting, dosen juga mengalami kendala dalam pembelajaran Daring, tidak
hanya kalian para Maha-Siswa.
corona Ternyata banyak membuka tabir yang mungkin terlupakan
BalasHapus