Penulis: Sulvinajayanti, S.Kom, M.I.Kom (Kaprodi Sosiologi Agama IAIN Parepare) "Sukses berjalan dari satu kegagalan ke kegagalan...
Penulis: Sulvinajayanti, S.Kom, M.I.Kom (Kaprodi Sosiologi Agama IAIN Parepare)
"Sukses berjalan dari satu kegagalan ke kegagalan yang lain, tanpa kita kehilangan semangat." Abraham Lincoln
"Sukses berjalan dari satu kegagalan ke kegagalan yang lain, tanpa kita kehilangan semangat." Abraham Lincoln
Masyarakat tidak boleh pesimis dengan kegagalan pemerintah di awal dengan menangani pandemi Covid-19. Belajar dari kegagagalan itulah maka niscaya negara kita akan sukses melumpuhkan pandemi Covid-19.
Indonesia saat ini telah masuk dalam fase paling
kritis. Bukan karena pertumbuhan ekonomi yang tidak “meroket”. Bukan pula
karena penduduk miskin bertambah. Pun bukan pula bertambahnya hutang luar
negeri Indonesia. Situasi kritis yang dialami Indonesia lantaran harus
berjibaku melawan penyebaran virus corona jenis baru atau dikenal dengan
sebutan novel coronavirus. Secara resmi virus ini oleh World Health
Organization (WHO) disebut sebagai Covid-19 yang berarti “Covid” singkatan
dari Corona Virus Disease, sedangkan angka “19” menunjukkan tahun
munculnya virus tersebut.
Covid-19 telah terdeteksi sejak November 2019 di Kota
Wuhan, RRT. Dengan cepat virus menyebar. Menginfeksi puluhan, lalu ratusan,
ribuan, hingga ratusan ribu orang. Virus menyebar melewati sekat-sekat
geografis. Tidak hanya rakyat Tiongkok yang diinfeksi Covid-19, Covid-19
menyebar dan menginfeksi masyarakat di belahan dunia lainnya. Berdasarkan data
dari laman Johns Hopkins University hingga 4 April 2020 Covid-19 telah
menginfeksi 1.100.283 orang di seluruh dunia (coronavirus.jhu.edu/map.html).
Banyak pemerintahan negara di dunia mengeluarkan
kebijakan penanganan dari yang paling ekstrim seperti lockdown total
hingga paling lunak. Pendekatan ekstrim seperti lockdown total dilakukan
untuk mencegah masyarakat berkumpul dan berkerumun di tempat-tempat publik
sehingga penularan menjadi lebih berisiko. Negara-negara seperti India dan
Malaysia merupakan contoh yang menerapkan kebijakan ini. Ada pula yang merapkan
pendekatan yang lebih lunak, seperti melakukan rapid test kepada seluruh
penduduk. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mendeteksi dan menguji seluruh
penduduk yang berisiko terpapar Covid-19 sehingga mudah untuk diobati dengan
segera. Korea Selatan adalah negara yang mengambil kebijakan ini.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Faktanya Indonesia
termasuk salah satu negara yang masih harus berjibaku dengan segala kekuatan
untuk bertanding cepat dengan Covid-19. Virus ini melaju dengan cepat.
Menginfeksi siapa saja yang melakukan kontak dengan orang yang suspect.
Ibarat jaringan sosial, infeksi orang pertama akan menyebabkan orang-orang lain
terinfeksi selama mereka melakukan kontak langsung seperti bersamalaman. Pola
penularan virus ini tergolong unik. Virus masuk melalui mata, hidung, telinga,
dan mulut.
Kian hari, kasus Covid-19 semakin masif. Data sebaran
Covid-19 per 4 April 2020 pukul 13.00 WIB bersumber Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, tercatat 1.986 kasus positif inveksi Covid-19 dengan 181
pasien meninggal dunia serta 134 pasien berhasil disembuhkan (covid19.go.id).
Penyebaran Covid-19 di Wilayah Indonesia dengan kasus
transmisi lokal yakni DKI Jakarta, Banten (Kab. Tangerang, Kota Tangerang, dan
Kota Tangerang Selatan), Jawa Barat (Kota Bandung, Kab. Bekasi, Kota Bekasi,
Kota Depok, Kab. Bogor, Kota Bogor, dan Kab. Karawang), Jawa Tengah (Kota Surakarta), dan Jawa Timur
(Kab. Kediri, Kota Kediri, Kab. Malang, Kab. Magetan, Kab. Sidoarjo dan Kota
Surabaya), Kalimantan Barat (Kota Pontianak), Kalimantan Timur (Kota
Balikpapan), dan Sulawesi Selatan (Kota Makassar).
Langkah Pemerintah
Pemerintah sedang bertarung melawan infeksi virus yang
kian hari semakin meresahkan masyarakat. Tren kasus tiap hari kian meningkat.
Infeksi virus Corona juga melanda semua kalangan mulai dari rakyat biasa,
pengusaha, kalangan tenaga medis, dosen, pegawai negeri, kalangan selebriti,
pejabat daerah, hingga menteri. Beberapa berhasil sembuh. Namun kebanyakan
masih harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit rujukan pemerintah
untuk penanganan Covid-19.
Dalam menghadapi situasi krisis seperti saat ini,
peran pemerintah sangatlah penting. Pemerintah dituntut untuk mampu menangani
penyebaran virus ini, sambil mengelola perekonomian negara. Menghadapi situasi
ini memang tidaklah mudah. Langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah
patut diapresiasi, melihat pemerintah begitu serius dalam menangani kasus
Covid-19 ini.
Sejak kasus Covid-19 pertama terdeteksi di Indonesia, 02
Maret 2020, pemerintah mengambil langkah cepat. Berbagai kebijakan kemudian
diramu dan dikeluarkan dengan tujuan untuk mempercepat penanggulangan infeksi
Covid-19 dan menghindarkan masyarakat dari risiko tertular. Langkah-langkah
pemerintah yang tercatat adalah pertama, diterbitkannya Keputusan
Presiden Nomor 7 tahun 2020 tentang Gugus Tuhas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Keputusan presiden ini menjadi payung hukum untuk penanganan Covid-19 di
Indonesia agar lebih sistematis, terarah, cepat, dan terkoordinir.
Kedua, menyiapkan
protokol komunikasi krisis. Pemerintah menunjuk satu orang juru bicara
pemerintah untuk menyampaikan informasi kasus Covid-19 di Indonesia setiap
hari. Perkembangan kasus selalu di-update setiap saat. Selain menujuk
juru bicara resmi, pemerintah juga menyiapkan laman khusus pemantauan Covid-19,
yaitu, www.covid19.go.id dan hotline telepon 119 untuk pengaduan dan pelayanan informasi
Covid-19.
Ketiga, pemerintah
menetapkan 132 daftar rumah sakit rujukan berdasarkan untuk penanganan pasien suspect
Covid-19 yang tersebar di 34 provinsi Indonesia. Ke-empat, pemerintah
mengeluarkan himbauan kepada publik untuk meningkatkan kewaspadaan diri secara
bersama agar penanganan Covid-19 mudah dilakukan. Kelima, pemerintah
melakukan pembatasan aktivitas masyarakat mulai dari skala kecil hingga
diwacanakan untuk pembatasan dalam skala yang besar. Ke-enam, pemerintah
mengeluarkan kebijakan untuk work from home dan study from home.
Kebijakan bekerja dari rumah dan belajar dari rumah ini sebagai upaya
pencegahan risiko yang lebih besar.
Hal-hal tersebut merupakan bukti dari tanggung jawab
pemerintah untuk menyiapkan kapasitas yang lebih besar jika jumlah kasus yang
menyebabkan penyakit menular yang muncul, terutama COVID-19, semakin meningkat
jumlahnya. Dalam kondisi saat
ini kita bisa melihat bahwa pemerintah ingin agar masyarakat melihat keseriusan
dalam penanganan covid-19 ini.
Pertarungan Citra Pemerintah
Tidak dapat dipungkiri, strategi dan kebijakan penanganan Covid-19 ini
juga menjadi lahan pertarungan citra pemerintah baik di mata rakyatnya maupun
di mata dunia internasional. Terlebih sejak awal banyak negara yang meragukan
kemampuan pemerintah Indonesia menangani virus Corona ini. Oleh karenanya,
langkah-langkah pemerintah yang telah disebutkan tadi bukan hanya dilihat
sebagai menunaikan kewajiban dan tanggung jawab semata, melainkan juga
pertaruhan citra positif pemerintah di mata publik.
Citra (image)
merupakan gambaran yang ada dalam benak masyarakat tentang pemerintah. Citra merupakan persepsi masyarakat tentang
pemerintah menyangkut pelayanan, perilaku dan perhatiannya terhadap kondisi
masyarakatnya. Dari persepsi itulah yang akan memengaruhi sikap masyarakat
apakah mendukung, netral atau memusuhi pemerintah.
Citra
positif mengandung arti kredibilitas pemerintah di mata masyarakat adalah baik (credible).
Kredibilitas mencakup dua hal, yakni, kemampuan (expertise) dan kepercayaan (trustworthy).
Kemampuan (expertise) menyangkut dengan persepsi masyarakat bahwa pemerintah
mampu dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan kepercayaan (trustworthy)
menyangkut dengan persepsi masyarakat bahwa pemerintah dapat dipercaya untuk
tetap komitmen dalam menjaga kepentingan bersama masyarakat.
Kasus pandemi ini masih terus berkembang. Pemerintah
harus terus memikirkan cara efektif dan efisien sambil memikirkan momentum agar
tidak kalah cepat dengan penyebaran virus. Meskipun ada kekeliruan komunikasi
di awal, agaknya saat ini masih belum terlambat memperbaiki itu semua. Kuncinya
pemerintah harus transparan kepada publik agar publik dapat memahami kondisi
sebenarnya. Dalam situasi krisis ketertutupan informasi justru membuat
kepercayaan publik tergerus ke titik nadir. Jika situasinya seperti ini maka
pemerintah memiliki pekerjaan tambahan, yakni, memperbaiki citra yang kadung
buruk di mata rakyatnya sendiri.
Citra pemerintah kita saat ini bisa dikatakan terlihat
negatif oleh sebagian masyarakat. Pemerintah dianggap kurang tanggap dan sigap
dalam menangani kasus pandemi ini. Seperti yang kita lihat masih banyak
masyarakat yang keluar rumah meskipun tanpa keperluan penting, masih banyak
perusahaan yang tetap mempekerjakan pegawainya di kantor, masih sangat
terbatasnya alat kebutuhan kesehatan seperti Alat Pelindung Diri (APD) dan
masker untuk tenaga medis.
Untuk mengelola citra agar tetap baik di mata publik,
hemat penulis ada tujuh langkah yang perlu dilakukan pemerintah sesuai dengan Circle
Public Relation, yaitu, pertama, Tahap Analisis Situasi dan Komunikasi. Pada tahap ini
pemerintah mengadakan suatu analisis atau mengidentifikasi, baik situasi maupun
kondisi, kemampuan dan keuangan pemerintah. Satuan gugus tugas pemerintah untuk penanganan
Covid-19 perlu melakukan riset secara berkelanjutan untuk tahu penyebab
masalah, data orang terinfeksi, pola penyebaran infeksi, respon publik,
perilaku khalayak, dan lain sebagainya.
Data-data yang dikumpulkan
selanjutnya dianalisis sehingga tahu apa informasi yang layak diberikan ke publik
dan mana informasi yang hanya meningkatkan kecemasan publik. Riset harus
dilakukan terus menerus selama situasi krisis berlangsung. Seberapa besar
kemampuan pemerintah dalam menangani wabah Covid-19 ini seperti jumlah rumah sakit
dan tenaga medis yang menjadi garda terdepan, serta situasi keuangan negara
dalam menyokong penanganan Covid-19.
Kedua,
Penetapan Tujuan. Pemerintah merumuskan tujuan yang hendak dicapai dan mengacu
kepada kepentingan bersama masyarakat dalam hal ini tujuan utamanya adalah menangani
wabah Covid-19 agar tidak semakin menyebar, memaksimalkan alat kebutuhan
kesehatan rumah sakit, kebutuhan bahan pokok masyarakat tetap tersuplai secara
merata dan tujuan sentral membangun
“citra” pemerintah di mata masyarakat. Terdapat dua jenis tujuan, yaitu, (1)
informasional bermakna memperluas pengertian dan menginformasikan publik dan
(2) motivasional bermakna berusaha memengaruhi masyarakat untuk meningkatkan rasa empati dan
melakukan sesuatu seperti memberi donasi kepada masyarakat yang kurang mampu
dan tidak berpenghasilan selama wabah Covid-19.
Pemerintah diharapkan
menginformasikan kepada masyarakat tentang bahaya Covid-19, mengimbau untuk
tetap di rumah dan menjaga kesehatan, dan mengedukasi masyarakat tentang apa
sih Covid-19 itu? seperti yang kita lihat masih banyak warga yang berkeliaran
dan yang paling menyedihkan adalah kurangnya rasa empati masyarakat. Penolakan
terhadap tenaga medis, baik dokter maupun perawat, setelah Covid-19 mewabah
terus terjadi di lingkungan domisili. Warga melempari tenaga medis dengan batu
saat sedang membawa jenazah pasien Covid-19 di sebuah pemakaman. Aksi itu
merupakan penolakan warga pada penguburan pasien Covid-19 (liputan6.com).
Beberapa tenaga medis mendapat stigma negatif dari warga. Dengan alasan khawatir
sebagai pembawa (carrier) virus Corona atau Covid-19,
para tenaga medis ini kesulitan untuk mendapatkan sewa tempat tinggal sementara
karena mendapat penolakan warga. Bahkan ada rumah perawat yang dipagari oleh
warga agar anak perawat itu tidak keluar. Sangat miris melihat kondisi
masyarakat kita.
Ketiga,
Definisi khalayak. Yang dimaksud adalah bagaimana dan siapa publik yang akan
menjadi objek atau sasaran pemerintah dalam perencaana. Perencanaan menargetkan
2 jenis publik, yaitu, (1) Publik Primer merujuk kepada masyarakat umum dan (2)
Publik Sekunder merujuk kepada media atau pers.
Dalam menghadapi publik, pemerintah
harus paham kondisi masyarakat dari berbagai kalangan mulai dari tingkat
pendidikan hingga tingkat perekonomian masyarakat. Dalam memberikan informasi,
pemerintah mesti menyesuaikan dengan tingkat pendidikan masyarakat. Seperti
yang kita ketahui awal pemerintah menetapkan social distancing sebagai
langkah pencegahan penularan wabah Covid-19, banyak masyarakat dikalangan
berpendidikan rendah tidak paham dengan hal tersebut. Buktinya masyarakat di
desa dan pelosok masih banyak yang tetap berkumpul dengan tetangga mereka.
Masih banyak yang melakukan hajatan dengan mengundang orang banyak. Artinya
pemerintah tidak mengenal masyarakat dengan baik. Pemerintah pusat, pemerintah
provinsi dan pemerintah daerah mestinya bekerjasama dalam memberikan imbauan.
Kreatif dalam memilih diksi kata dalam imbauan, misalnya menggunakan kata atau
kalimat yang mudah dimengerti oleh semua kalangan ataukah bisa juga dengan
menyesuaikan bahasa daerah masing-masing.
Terkait dengan
perekonomian, pemerintah harus bekerjasama dengan semua kalangan sebelum
mengambil kebijakan lockdown misalnya mesti melihat kondisi mata
pencaharian sebagian besar masyarakat. Kita melihat banyak kondisi masyarakat
yang memprihatinkan. Kebijakan untuk melarang keluar rumah mengakibatkan
beberapa masayarakat kita mengeluh tak mampu membeli makan karena mata
pencahariannya sebagai buruh, tukang ojek, supir angkot, penjual di
sekolah-sekolah dan lain sebagainya.
Penting bagi pemerintah untuk
bekerjasama dengan media dalam informasi dan pemberitaan tentang Covid-19.
Banyak informasi beredar yang sifatnya hanya hoax
sehingga meresahkan masyarakat. Ini membuktikan bahwa pemerintah tidak menegaskan
kepada media untuk memberikan informasi yang akurat.
Pembagian tugas dalam
penanganan Covid-19 perlu dipetakan dengan baik. Pemerintah pusat
bertanggungjawab sejauh apa, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah pun juga
demikian. Kebijakan apa yang bisa dilakukan sesuai dengan arahan pemerintah
pusat.
Keempat, Media
Planning. Pemilihan media sebagai alat pendukung yang sangat penting karena
media bisa menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah untuk menjangkau
masyarakat yang tersebar luas diberbagai tempat. Melalui media massa, yaitu
media cetak dan elektronik, selain mempunyai kredibilitas untuk menyampaikan
pesan kepada masyarakat yang jangkauannya lebih luas, juga memiliki
keserempakan dalam penyampaian informasi maupun berita.
Dalam aspek ini tim komunikasi
krisis pemerintah harus menyusun cara memberitahu masyarakat agar informasinya
lebih terpercaya atau menghindari hoax. Tak bisa dipungkiri dengan adanya media
sosial maka informasi mudah menyebar bahkan tanpa di-filter terlebih dahulu
sehingga menimbulkan kepanikan masyarakat. Dalam praktiknya pemerintah telah
meluncurkan situs www.covid19.go.id sebagai saluran satu pintu. Namun agaknya
situs tersebut tidak cukup mengingat tidak seluruh masyarakat mempunyai
kecakapan digital yang sama. Oleh karenanya perlu hubungan media (media
relations) yang baik agar tidak ada informasi yang dipelintir oleh media
karena hanya akan menimbulkan respon panik di masyarakat.
Kelima,
Anggaran. Pemerintah perlu memprediksi besarnya biaya yang akan
dikeluarkan dalam penanganan wabah Covid-19 yang sudah
diperkirakan dan terperinci secara sistematis. Tujuannya adalah agar
perencanaan PR berjalan sebagaimana mestinya. Kementerian Keuangan telah memberikan wewenang untuk Kegiatan
Refocussing dan Realokasi Anggaran
Kementerian / Lembaga dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19 yang
terkandung dalam surat edaran Menteri Keuangan Nomor SE-6 / MK.02 / 2020 untuk
tujuan mempercepat penanganan Covid-19.
Pemerintah juga dapat menggunakan Dana Siap Pakai (DSP) dan Anggaran
Pengeluaran Daerah (BTT) untuk menangani status situasi khusus ini.
Keenam, Programming dan Planning. Memformulasikan
rencana yang sistematis dan logis untuk memudahkan dalam pemantauan dan
pengecekan dari tahapan yang telah dilaksanakan untuk memudahkan dalam
mengevaluasi program yang telah terlaksana dan belum terlaksana. Pemerintah
bisa dengan mudah memantau peta sebaran Covid-19 di seluruh provinsi hingga
desa, kecukupan alat dan kebutuhan kesehatan, kondisi tenaga medis, kondisi
ekonomi masyarakat dan jumlah anggaran yang telah tersalurkan dan yang masih
dibutuhkan.
Ketujuh, Evaluasi.
Berhubungan dengan tindakan evaluasi pelaksanaan protokol penanganan Covid-19.
Banyak pertanyaan yang dapat dijadikan indikator dalam hal ini, seperti,
seberapa luas capaian informasi risiko di masyarakat? Bagaimana dampak
informasi tersebut? Bagaimana respon masyarakat? Adakah perubahan perilaku di
masyarakat? Apakah masyarakat mengikuti kebijakan pemerintah? Apakah media
menulis berita sesuai dengan apa yang disampaikan pemerintah? Dan lain
sebagainya. Hal ini penting karena manajemen krisis adalah proses berkelanjutan
dan jangka panjang.
Hasil Akhir
Pertarungan Citra
Tolok ukur pencapaian citra positif pemerintah di mata
masyarakat bisa dilihat dari lima hal yaitu citra, kepercayaan, realitas,
manfaat dan keterikatan. Citra itu bersifat intangible atau abstrak namun
wujudnya bisa dirasakan dari penilaian, penerimaan, kesadaran dan pengertian.
Seperti tanda respect dan rasa hormat masyarakat terhadap pemerintah. Banyak kemudian
hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah, seperti yang terlihat dalam penangan
Covid-19 ini beberapa pemerintah provinsi (pemprov) menyiapkan hotel khusus dan
bus antar jemput untuk tenaga medis yang bertugas menangani pasien Covid-19,
penggunaan wisma atlet, asrama haji dan balai diklat sebagai rumah sakit
darurat Covid-19, membuat bilik disinfektan, serta melakukan tes
massal Covid-19.
Transparansi dalam penaganan covid-19 dengan memonitor
penyebaran Covid-19 melalui media masa, sehingga pemerintah bisa mengetahui
peta penyebaran hingga ketingkat kelurahan atau desa. Salah satu pemprov pun
memantau media untuk monitor rilis peta penyebaran Covid-19 sampai tingkat
kelurahan. Jadi nantinya lurah atau kepala desa tahu bagaimana melakukan
pencegahan dan antisipasi, termasuk warga yang berada di wilayah itu untuk
melakukan tindakan preventif.
Pemprov juga menyiapkan dana untuk rumah sakit
penanganan Covid-19, menyiapkan rekening bantuan bagi masyarakat yang ingin
menyumbang di Rekening Gugus Tugas Covid-19, memberikan subsidi kepada
masyarakat miskin dan rentan miskin yang terkena dampak Covid-19. Bahkan Pemda
pun memproduksi sendiri alat pelindung Diri (APD). Sudah saatnya pemda berusaha
untuk berinovasi dalam ranga penyebaran covid-19. Daerah bisa membantu secara
kreatif dan inovatif. menggelontorkan menggelontorkan dana tak terduga Rp 15
milyar dan 54 miliar untuk belanja kebutuhan peralatan kesehatan seperti
yang dilakukan oleh pemprov yang
memiliki tingkatan kasus yang tinggi itu sungguh luar biasa.
Tindak preventif dan kuratif yang dilakukan pemerintah
tersebut diatas sebagai upaya untuk mendapatkan citra positif di mata
masyarakat sehingga menimbulkan kepercayaan yakni kesan dan penilaian positif.
Semakin besar jumlah masyarakat yang percaya terhadap pemerintahnya, niscaya
citra postif itu akan terbentuk dengan sendirinya. Sehingga tercipta realitas
bahwa semua upaya pemerintah tidak sia-sia di mata masyarakatnya. Semuanya
perlu kerjasama yang saling menguntungkan. Pemerintah memberikan apa yang bisa
dilakukan sebagai perwakilan rakyat dan sebagai masyarakat yang bisa dilakukan
adalah mengikuti imbauan pemerintah untuk tetap di rumah dan menjaga jarak
sehingga bisa menekan tingkat penyebaran Covid-19.
Proses perencanaan disini menjadi sangat penting,
menurut Prof. Hafied Cangara, guru besar Komuniaksi Universitas Hasanuddin,
gagal dalam perencanaan berarti merencanakan kegagalan suatu program. Perencaaan
diperlukan karena adanya keyakinan bahwa manusia tidak boleh menyerah pada
keadaan. Yah pemerintah tidak boleh menyerah pada keadaan darurat ini.
Dibutuhkan perencaan yang matang.
Di sisi lain ketika beberapa pemerintahan pada tingkat
pusat, provinsi hingga daerah sibuk berjuang menangani Covid-19 dan mendapatkan
citra positif masyarakat, tak jarang kemudian tanpa disadari ada langkah yang
dilakukan oleh pemerintah yang merusak citra positif itu.
Seperti halnya yang kebijakan yang diambil salah satu
pemprov dengan membuat publisitas bahwa wilayahnya aman dan siap dikunjungi
wisatawan di tengah pandemi covid-19 dengan menggunakan pertimbangan bahwa
sampai saat ini belum ada warga masyarakat atau wisatawan yang dinyatakan
positif terpapar virus corona (nasional.tempo.co/). Pertimbangan seperti itu dianggap menyepelekan persoalan. Alih-alih
melindungi hak atas kesehatan warga, kebijakan ini justru dapat meluaskan risiko
tersebarnya covid-19 yang malah berpotensi membesarkan jumlah korban. Kebijakan
yang cenderung abai terhadap keselamatan dan kesehatan warga sudah barang tentu
tidak selaras dengan pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 yang mana setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin.. dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat. Kebijakan tersebut dinilai cenderung mengejar laba dari
pariwisata dan melalaikan hal yang paling fundamental yakni, keselamatan dan
kesehatan warga.
Semestinya pemprov bisa belajar dari keteledoran
Pemerintah Indonesia saat pertama Covid-19 ini muncul di China dan menyebar ke kawasan
lain di negara tetangga. Pemerintah menganut premis yang sama sekali keliru.
Bukannya mengantisipasi jikalau terjadi penyebaran, pemerintah melalui para
pejabat dan elitnya condong menyepelekan dan menyiratkan orang Indonesia kebal
terhadap virus ini. Hingga akhirnya pada 2 Maret 2020, Indonesia resmi mengakui
merebaknya covid-19 dengan diumumkannya dua pasien pertama oleh Presiden Joko
Widodo.
Tak hanya sampai pada persoalan di atas, masyarakat pun mempertanyakan upaya pemerintah yang tidak
transparan dalam menyampaikan informasi kepada publik terkait penanganan Covid-19.
Pemerintah terkesan menutup-nutupi informasi dengan alasan untuk menjaga
situasi tetap kondusif. Sikap ketidakterbukaan pemerintah itu hanya menyulitkan
masyarakat. Memang pemerintah mungkin maunya menjaga situasi agar kondusif.
Tapi dengan tidak transparan justru membuat masyarakat 'kepo' dan tidak tenang.
Padahal beberapa pejabat yakin bahwa publik mampu menerima informasi dengan
bijaksana. Apalagi, jika pemerintah benar-benar mampu meyakinkan masyarakat
bahwa usaha penanganan optimal terus dilakukan. Kesiapan pemerintah itu perlu
ditunjukkan dan dikomunikasikan kepada masyarakat. Sebab, jika tidak, maka
masyarakat akan bertanya-tanya dengan langkah-langkah yang sebenarnya dilakukan
pemerintah.
Hal tak menyenangkan pun dialami oleh salah satu pemda,
beberapa ODP (orang dalam pemantauan) yang sementara diisolasi pada salah satu
Rumah Sakit Daerah mengamuk bahkan melempari petugas karena meminta dipulangkan
ke rumahnya masing-masing dengan alasan tak ada yang mengurus keluarganya.
Mungkin karena masyarakat belum paham atau memang tak peduli dengan penyebaran
Covid-19 ini sehingga pemerintah daerah perlu melakukan pendekatan secara
kultural, tradisional kepada masyarakat khususnya di daerah bahkan pedesaan.
Dibutuhkan opinion leader seperti
tokoh masyarakat atau tokoh agama yang bisa didengarkan oleh masyarakat.
Lihat pula yang terjadi di Istana Kepresidenan. Alih-alih
menenangkan masyarakat, yang ada pejabat malah saling bantah komentar di media.
Mengingat, dua kali terjadi miskomunikasi yang membuat pernyataan satu pejabat
diralat oleh pejabat lainnya. Komunikasi yang dibangun pejabat Istana Kepresidenan dalam menghadapi
pandemi Covid-19 dinilai buruk dan tak profesional.
Wacana yang diperdebatkan yakni siaran pers oleh salah
satu pejabat pada tanggal 2 April 2020
adalah “Mudik Boleh, tetapi Berstatus Orang Dalam Pemantauan”. Presiden
membolehkan mudik, namun wajib melakukan isolasi madiri selama 14 hari.
Beberapa jam berselang, seorang pejabat tiba-tiba mengoreksi pernyataan
tersebut via group Whatssapp yang beranggotakan wartawan, menteri dan pejabat
istana. Dalam pernyataannya menyampaikan bahwa pemerintah mengajak dan berupaya
keras agar masyarakat tidak perlu mudik. Tak lama berselang pejabat pertama pun
memperbarui siarannya persnya “Pemerintah Imbau Tidak Mudik Lebaran, Bansos
Dipersiapkan Hadapi Covid-19”.
Kondisi tersebutlah yang membentuk citra negatif
pemerintah di mata masyarakat. Pemerintah dinilai tidak mampu mengomunikasi
dengan baik. Manajemen komunikasi di Istana belum berjalan dengan baik sehingga
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah tak jarang mulai pesimis melihat
kondisi saat ini. Inilah yang masih perlu dievaluasi dan dikelola secara
profesional yang sfatnya urgent untuk segera diperbaiki mengingat ini adalah
isu pandemi covid-19 yang terkait dengan keselamatan dan nasib orang banyak.
Perjuangan melawan Covid-19 adalah perjuangan bersama
baik pemerintah maupun masyarakat. Perjuangan ini tentu akan berat jika hanya
diserahkan kepada pemerintah semata. Tentu peran serta masyarakat sangat
dibutuhkan agar penyebaran Covid-19 ini dapat dilakukan secara efektif dan
efisien.
Sebagai masyarakat kita harus taat pada pemerintah,
taat pada aturan-aturan yang telah ditetapkan. Toh imbauan sosial distancing/physical distancing ini untuk kemaslahatan bersama. Masyarakat mesti
senantiasa berpikiran postif terhadap pemerintah. Kekurangan dalam mengomunikasikan
bahaya pandemi kepada masyarakat, jangan lantas kita sebagai masyarakat
melupakan upaya-upaya penanganan yang telah dilakukan pemerintah. Jangan ngeyel
dan keras kepala agar semuanya bisa segera berlalu.
Daftar Rujukan
Butterick, Keith. 2011. Pengantar
Public Relatio: Teori dan Praktik. Terjemahan oleh Nurul Hasfi. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Cangara, Hafied.
2013. Perencanaan dan Strategi Komunikasi.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Cutlip, scott M., et. Al. 2011. Effective
Public Relation. Terjemahan oleh Tri Wibowo, B.S. Jakarta: Kencana.
Ruslan, Rosady.
1995. Praktik
dan Solusi Public Relation. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
Tidak ada komentar