Penulis: Muh. Taufiq Syam, M.Sos (Dosen Ilmu Dakwah ) “ Manusia adalah sebuah pilihan, sebuah perjuangan, sebuah proses menjadi yang t...
Penulis: Muh. Taufiq Syam, M.Sos (Dosen Ilmu Dakwah)
“Manusia adalah sebuah pilihan, sebuah perjuangan, sebuah proses menjadi yang terus menerus berlangsung. Manusia adalah melakukan migrasi (hijrah) tak terbatas, migrasi dalam diri sendiri, migrasi dari bumi menuju Tuhan: manusia adalah migran dengan jiwanya sendiri”(Shariati, 1979:93).
Kutipan di atas diambil dari sepotong paragraf buku Ali Shariati yang berjudul On The Sociology of Islam yang menitikberatkan tentang proses perjalanan hidup manusia yang memilih untuk terus berjuang tanpa henti. Sebuah perjalanan panjang untuk kembali kepada satu tujuan. Kembali menyatukan jiwa dengan Sang Pemilik Jiwa, yaitu Tuhan.
Tuhan menitipkan intisari kehidupan bagi makhlukNya bernama jiwa, yang di dalam bahasa Sansekerta menggunakan kata “jiva” yang berarti “benih kehidupan”. Kata ini dipilih untuk merepresentasikan tentang keberadaan sebuah zat yang menjadi intisari bagi semua makhluk yang bernyawa. Meskipun digambarkan dalam bentuk zat material yaitu “benih”, akan tetapi jiwa diasumsikan sebagai zat yang bersifat immaterial karena secara substantif tidak ada seorang pun yang mampu memberikan gambaran, seperti apa wujud fisik dari sebuah jiwa. Jiwa diindentikkan sebgai perwakilan atas tubuh yang berfungsi menjadi penggerak dan pengatur atas segala hal yang dibutuhkan oleh tubuh. Ketika jiwa telah bersinggungan dengan tubuh, maka terbentuklah kontruksi anima.
Kata anima kali pertama dikenal lewat tulisan Aristoteles dalam bukunya yang berjudul De Anima :On The Soul (350 SM). Anima digambarkan sebagai sebuah hasrat dan keinginan yang membelunggu jiwa yang memberikan dorongan kepada makhluk yang bernyawa untuk memenuhi segala hal yang bersifat biologis (2011: 25). Aristoles membagi anima ke dalam tiga bentuk berdasarkan jenis hasrat yang diinginkan. Anima vegetativa, yaitu hasrat yang memberikan dorongan kepada makhluk hidup untuk bertahan hidup melalui makanan dan minuman. Anima sensitiva, yaitu hasrat yang memberikan dorongan kepada makhluk hidup untuk bertahan hidup melalui proses adaptasi dan reproduksi. Dan, anima intelektiva yang memberikan dorongan kepada makhluk hidup untuk dapat memaksimal potensi akal budi yang dimiliki dan bertindak berdasarkan hasil dari berpikir. Titik fokus pada anima bentuk ketiga yang hanya dimiliki oleh manusia, yaitu berpikir.
Setiap manusia memiliki kemerdekaan untuk berpikir, karena berpikir adalah manifestasi jiwa yang menunjukkan eksistensinya yang bersifat subjektif sekaligus objektif. Bersifat subjektif untuk menunjukkan potensi dari akal budi manusia, dan objektif untuk mengaktualisasikan interpretasi nilai dari akal budi tersebut. Akan tetapi, meskipun terdapat klaim kemerdekaan dalam hal berpikir, kenyataannya bahwa anima intelektiva harus tetap terikat pada dua hal, yaitu inner freedom (kemerdekaan alami) dan external determination (ikatan dari luar).
Ketika George Lukacs menjelaskan tentang filsafat Kantian dalam bukunya yang berjudul History and Class Consciousness (1971:135), dia mengambarkan bahwa jiwa manusia selalu berkonfrontasi pada dua hal, yaitu realitas yang dibuat sesuai dengan keinginannya sendiri sebagai pemilik penuh atas dirinya sendiri (inner freedom) dan fenomena natural yang berada di luar dirinya yang mengikat secara penuh hak-haknya sebagai individu (external determination). Sehingga, ketika jiwa mulai memutuskan untuk bertindak, maka dirinya hanyalah sebuah objek, bukan lagi sebagai subjek dari peristiwa yang dijalaninya. Determinasi jiwa untuk lebih cenderung memilih menjadi objek, salah satunya dipelopori oleh dorongan dari luar yang terus mengarahakan untuk lebih mementingkan tanggung jawab diri (amour de soi) dibandingkan kecintaan terhadap hasrat diri (amour propre).
Tanggung jawab diri (amour de soi) merupakan rekayasa yang dimunculkan oleh kelompok-kelompok sosial di masyarakat yang menginginkan agar tercipta individu-individu yang tertib, teratur dan beradab. Beban tanggung jawab personal yang terus menerus diberikan kepada individu, diharapkan dapat menjadi modal untuk menciptakan orang-orang yang tercerahakan (illuminated people). Ikatan tanggung jawab yang berikan, perlahan-lahan mampu menekan hasrat diri (amour propre) untuk bertindak sesuka hati. Hal ini disebakan karena kekhawatiran terhadap sanksi sosial yang akan diperoleh apabila tidak memperdulikan tanggung jawab tersebut. Wajar apabila Rousseau dalam bukunya yang berjudul The Social Contract and Other Discourses memberikan kritik dengan mengatakan bahwa rasa cinta diri (amour propre) adalah satu-satunya tujuan manusia dalam proses perjalanannya hidup di dunia ini, telah hilang dalam proses transisi manusia ketika dihadapkan dengan adanya tanggung jawab diri (amour de soi) demi sebuah peradaban (1973: 77). Institusi-intitusi moral kemudian mengambil sebuah peranan penting dalam mendistribusi tanggung jawab individu tersebut. Salah satunya, adalah agama.
Agama diibaratkan sebagai sebuah arena yang luas, tempat ditransformasikanya segala tanggung jawab bagi setiap individu. Otoritas agama menjadi sebuah media ideologis yang berpotensi untuk membatasi ruang gerak individu. Penyebabnya karena agama dijadikan sebagai perekat sosial yang mampu menjaga gerak dinamis antar individu dalam berinteraksi. Verstehen (pemahaman) terhadap agama menujukkan cara bagaimana agar setiap individu memiliki kepedulian terhadap orang-orang di sekitarnya, dengan menyingkirkan ego dan menumbuhkan simpati. Maka ketika jiwa pada akhirnya tunduk dan patuh atas aturan tanggung jawab yang diberikan oleh agama untuk lebih mengutamakan rasa simpati kepada orang lain sebagai wujud dari manifestasi kebaikan, pada saat itu pula akan muncul sikap teodesi dalam diri individu.
Teodesi
Kata teodesi pertama kali dikemukan oleh Gottfried Leibniz pada tahun 1710 untuk membuktikan tentang posisi individu dari sisi rasionalitas dan moralitas (Turner,1983 :80). Teodesi menjustifikasi kebaikan, kebahagiaan dan kasih sayang Tuhan dan secara bersamaan melegalisasi adanya keburukan dan penderitaan. Paham teodesi mengambarkan bahwa Tuhan telah menitipkan kebaikan-kebaikan kepada manusia yang hanya dapat dibuktikan ketika manusia mampu menampakkan dan merealisasikan kebaikan, serta membagikan kebahagiaan tersebut kepada orang lain. Sebaliknya, apabila manusia lebih cenderung mementingkan dirinya sendiri, maka itulah refleksi dari keburukan dan penderitaan yang dia miliki.
Konsep kebaikan adalah bentuk dari sisi moralitas manusia. Orang-orang yang bermoral merupakan individu yang melakukan perbuatan berdasarkan atas koridor-koridor moral yang telah ditetapkan oleh agama. Mengutamakan kepentingan bersama, memelihara hubungan baik dengan sesama, peduli atas penderitaan orang lain merupakan serangkaian bentuk ajaran moral yang disampaikan oleh agen-agen agama ketika berkhotbah dihadapan pengikutnya. Akan ada janji reward (hadiah) berupa surga bagi mereka tetap menjaga moralitas agama selama masa hidupnya.
Di sisi lain, konsep keburukan adalah manifestasi dari sisi rasionalitas manusia. Secara rasional manusia adalah makhluk yang bebas, memiliki kekuasaan penuh untuk memilih dan menentukan perilaku yang dianggap baik oleh dirinya, tanpa harus memperdulikan lingkungan sosialnya. Hal inilah yang secara terus menerus diingatkan oleh para agen-agen agama, bahwa sikap egois dan individualis merupakan perilaku yang buruk dan tercela di dalam ajaran agama. Ancaman punishment (hukuman) berupa neraka bagi mereka semasa hidupnya bersikap egois. Perbedaan inilah yang kemudian memuculkan dikotomi di dalam teodesi.
Dikotomi tentang teodesi turut menjadi perhatian Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya yang berjudul The Social Reality of Religion. Berger dan Luckmann membagi teodesi menjadi dua konsep. Teodesi kebahagiaan yang menjelaskan dan menjustifikasi sistem penindasan dan ketidakadilan sosial dan teodesi penderitaan yang memberikan obat penawar agar penderitaan bisa diterima lapang dada (1969: 67). Pendapat ini mendeskripsikan bahwa individu dapat memperoleh kebahagian ketika menuruti hasratnya, meskipun harus menindas dan berbuat tidak adil kepada orang lain. Sedangkan, bersikap ikhlas dan pasrah merupakan obat untuk memaklumi segala penderitaan yang dialami akibat lebih mementingkan orang lain dibanding diri sendiri. Tujuanya satu, agar kelak ketika telah jiwa telah kembali kepada pemiliknya, maka diri sudah dalam keadaan bersih tanpa dosa.
Berdasarkan atas kedua pendapat tentang teodesi di atas, dalam kondisi ‘mutatis mutandis’, para teodesi ternyata sedang menunggu suatu proses untuk mengapai dan membuktikan segala hal yang telah dijanjikan kepada mereka selama ini. Mereka menunggu datangnya kematian.
Kematian
Dalam ajaran-ajaran agama, kematian digambarkan sebagai akhir dari perjalanan singkat hidup manusia menuju kepada keabadian. Kematian merupakan proses pelepasan jiwa yang abadi dari wadahnya yang bernama tubuh yang disebabkan oleh proses penuaan secara biologis, yang dalam agama, kematian kematian menjadi lebih bersifat institusional.
Kematian menjadi institusional ketika hal-hal tersebut secara terus menerus disampaikan dalam forum-forum keagamaan, lengkap dengan ayat-ayat dari kitab-kitab suci agama. Sebagai bukti, dapat dilihat dalam salah satu ayat yang terdapat di ketiga agama langit di bawah ini.
Di dalam agama Islam, salah satunya terdapat dalam Q.S Ali Imran 185;
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ
ٱلْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۖ فَمَن
زُحْزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدْخِلَ ٱلْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ
ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُور﴿١٨٥﴾ِ
Terjemahannya:
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (Ali Imran: 185).
Di dalam agama Kristen, salah satunya terdapat dalam Bibel Perjanjian Baru, Wahyu 14: 13;
Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini.” “Sungguh,” kata Roh, “supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka (Wahyu 14: 13).
Di dalam agama Yahudi, salah satunya terdapat dalam Pirkei Avot, Ethics of Father 4: 16-17;
Dunia ini sebanding dengan ruang depan sebelum dunia yang akan datang. Persiapkan diri Anda di ruang depan, sehingga Anda dapat memasuki ruang perjamuan. Satu momen pertobatan dan perbuatan baik di dunia ini lebih besar dari seluruh dunia yang akan datang. Dan satu momen kebahagiaan di dunia yang akan datang lebih besar dari semua dunia ini (Ethics of Father 4: 16-17).
Ayat-ayat di atas merupakan ayat yang paling sering digunakan oleh para dai, pendeta dan rabbi ketika sedang memberikan peringatan kepada umatnya tentang kematian. Hal yang menarik yang dapat dilihat dari ayat-ayat tersebut, yaitu ketika terdapat penegasan tentang datangnya kematian, upaya mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian dan balasan atas segala perbuatan yang telah dilakukan semasa hidup, justru hanya merujuk kepada satu hal, yaitu kematian yang bersifat individualis.
William Shakespeare pernah menyinggung tentang kematian dalam naskah dramanya yang berjudul Macbeth dengan mengatakan: “Better be with the death. Whom we, to gain our peace, hace sent to peace. Than on the torture of the mind to lie (Lebih baik bersama dengan kematian saja. Sebab, untuk meraih kedamaian, harus kepadanya kita datang. Bukan pada pikiran penyiksa yang memaksakan dusta)” (Machbet, III,II. 19). Dalam potongan naskah drama ini, Shakespeare memberikan penegasan bahwa kematian merupakan jalan terbaik bagi seseorang yang telah lama merindukan kedaiaman, melepaskan diri dari ikatan-ikatan tanggung jawab, yang sebenarnya tidak diinginkan, hanya saja terpaksa harus dilakukan dalam rangka menjalankan kewajiban moral sebagai salah satu bagian dari kelompok sosial di masyarakat.
Di dalam kelompok sosial masyarakat sendiri, khususnya umat beragama, kematian seseorang merupakan sebuah bentuk kesedihan yang mendalam. Hal ini karena kematian adalah wujud perpisahan terakhir dengan orang yang dikasihi. Gambaran kesedihan ini tampak ketika seseorang sedang menghadapi proses menuju kematian, maka wajib bagi keluarga, sahabat, rekan sejawat, dan siapa pun yang memiliki kedekatan personal untuk berada di sisinya. Hal yang serupa terjadi ketika seseorang telah meninggal dan dibawa ke pemakaman. Wajah sedih, kalimat-kalimat yang berisi kenangan tentang segala hal yang pernah dilakukannya serta rencana-rencana yang belum sempat dilakukan semasa masih sehat, senantiasa diperdengarkan kepadanya.
Beragam bentuk alasan dapat menjadi penyebab mengapa hal ini dilakukan. Misalnya, mereka datang untuk mendoakan kemudahan bagi seseorang yang sedang proses kematian yang berat, dapat juga sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada orang tersebut, sebagai bentuk penyadaran bahwa semua orang pada akhirnya akan mengalami hal yang sama, atau bertujuan untuk sekedar mengingatkan tetang segala hal baik yang dimilikinya. Apapun alasannya, refleksi kedukaan seperti itu adalah salah satu bentuk moralitas komunal yang telah menjadi bagaian dalam sebuah sistem sosial di masyarakat.
Akan tetapi, di sisi lain muncul pertanyaan. Apakah memang hal seperti inilah yang diinginkan oleh seseorang yang mengalami kematian? Bukankah kematian adalah sesuatu yang bersifat privat, yang dengan kehadiran orang-orang terdekat justru akan menambah beban moral bagi dirinya? Jika memang kematian adalah hal yang telah dirindukan oleh para teodesi, lantas seperti apakah itu? Jawabannya dapat ditemukan pada korban yang meninggal akibat pandemi Covid-19.
Kematian yang Dirindukan Para Teodesi
Hari ini, 15 April 2020, total kasus pandemi Covid-19 di 212 negara sebanyak 2,000,231 kasus dengan total kematian sebanyak 126,758 jiwa. Para penderita pandemi Covid-19 akan terputus hubungan dengan lingkungan sosialnya sejak dinyatakan positif mengidap virus tersebut. Para pasien akan diisolasi di ruangan khusus dengan hanya didampingi oleh tenaga medis. Hal ini disebabkan karena virus corona dapat menyebar dengan cepat melalui media udara.
Mereka tidak diperkenankan untuk dijenguk oleh kerabatnya, bahkan oleh orang terdekat sekali pun. Bahkan pada saat mereka menghadapi sakratul maut hingga ke pemakaman, kerabat tidak diperbolehkan untuk mengunjunginya. Para penderita akan melalui semua proses tersebut sendirian dan hanya didampingi oleh tenaga medis, yang kebanyakan tidak pernah mereka kenal sebelumnya.
Dari segi moralitas kolektif umat beragama, peristiwa seperti ini merupakan hal yang berat karena bukanlah sesuatu yang biasa terjadi. Sejak dulu tradisi meninggal di ranjang dan dikelilingi oleh para kerabat dan kolega merupakan persoalan domestik di institusi-institusi sosial masyarakat. Kehadiran mereka merupakan bentuk simpati atas tanggung jawab moral bagi seseorang yang sedang menghadapi proses kematian. Luapan kesedihan dihapan orang tersebut dianggap sebagai persembahan terakhir yang harus disaksikan sebelum dirinya berpisah. Semakin dekat kematian menghampiri orang tersebut, maka semakin besar luapan kesedihan yang ditunjukkan dan puncaknya ketika jiwa telah meninggalkan tubuh si sakit.
Sedangkan dari segi rasionalitas individu seorang teodesi, hal ini mungkin saja memang dibutuhkan olehnya. Keinginan untuk melihat keluarga dan teman dekat adalah hal yang paling diinginkan sebelum dia meninggal. Akan tetapi di sisi lain, dirinya juga membutuhkan ketenangan agar mampu mempersiapkan diri ketika kematian pada dirinya sudah terjadi. Ketika dia melihat keluarga terdekatnya, orang tua, istri/suami, dan anak-anak tercinta terkadang justru akan kembali memunculkan beban tanggung jawab dalam dirinya dalam sebuah pertanyaan, siapakah yang kelak akan mengurus mereka?. Sehingga apabila hal ini terjadi, maka sekali lagi jiwanya akan mengalami tekanan moral.
Sebuah proses kematian sudah seharusnya dijalani dalam kondisi penuh ketenangan dan tanpa beban, sehingga proses menuju kedamaian yang telah dimimpikan oleh para teodesi ini dapat berlansung secara sempurna dan penuh kepuasan.
Mereka tidak diperkenankan untuk dijenguk oleh kerabatnya, bahkan oleh orang terdekat sekali pun. Bahkan pada saat mereka menghadapi sakratul maut hingga ke pemakaman, kerabat tidak diperbolehkan untuk mengunjunginya. Para penderita akan melalui semua proses tersebut sendirian dan hanya didampingi oleh tenaga medis, yang kebanyakan tidak pernah mereka kenal sebelumnya.
Dari segi moralitas kolektif umat beragama, peristiwa seperti ini merupakan hal yang berat karena bukanlah sesuatu yang biasa terjadi. Sejak dulu tradisi meninggal di ranjang dan dikelilingi oleh para kerabat dan kolega merupakan persoalan domestik di institusi-institusi sosial masyarakat. Kehadiran mereka merupakan bentuk simpati atas tanggung jawab moral bagi seseorang yang sedang menghadapi proses kematian. Luapan kesedihan dihapan orang tersebut dianggap sebagai persembahan terakhir yang harus disaksikan sebelum dirinya berpisah. Semakin dekat kematian menghampiri orang tersebut, maka semakin besar luapan kesedihan yang ditunjukkan dan puncaknya ketika jiwa telah meninggalkan tubuh si sakit.
Sedangkan dari segi rasionalitas individu seorang teodesi, hal ini mungkin saja memang dibutuhkan olehnya. Keinginan untuk melihat keluarga dan teman dekat adalah hal yang paling diinginkan sebelum dia meninggal. Akan tetapi di sisi lain, dirinya juga membutuhkan ketenangan agar mampu mempersiapkan diri ketika kematian pada dirinya sudah terjadi. Ketika dia melihat keluarga terdekatnya, orang tua, istri/suami, dan anak-anak tercinta terkadang justru akan kembali memunculkan beban tanggung jawab dalam dirinya dalam sebuah pertanyaan, siapakah yang kelak akan mengurus mereka?. Sehingga apabila hal ini terjadi, maka sekali lagi jiwanya akan mengalami tekanan moral.
Sebuah proses kematian sudah seharusnya dijalani dalam kondisi penuh ketenangan dan tanpa beban, sehingga proses menuju kedamaian yang telah dimimpikan oleh para teodesi ini dapat berlansung secara sempurna dan penuh kepuasan.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾
ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾
Terjemahannya:
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan
hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan
masuklah ke dalam surga-Ku (Q.S. Al Fajr: 27-30).
Oleh
karena itu, sebaiknya marilah kita mendoakan kepada orang-orang yang telah
meninggal akibat pandemi Covid-19 ini, secara paripurna dapat merasakan
kematian dengan tenang, damai dan tanpa lagi harus memberikan beban moralitas
kepada mereka. Doakanlah agar jiwa-jiwa mereka yang telah menyelesaikan
perjalanan migrasinya (hijrah) di dunia ini, kembali kepada pemiliknya,
Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dalam keadaan bersih tanpa dosa. Kalau
hal ini telah mereka dapatkan, maka seperti inilah wujud dari kematian yang telah
lama dirindukan oleh para teodesi.
Referensi
Kitab Suci
Al Quran dan Terjemahan.
Holy Bible, Kitab Perjanjian Baru.
Holy Book Pirkei Avot, Chapter of the Fathers.
Buku
Aristotle. (350 B.C), De Anima, trans. Mark Shiffman. The Soul. R.Pullins Company. 2011
Beger, P.L. and Thomas Luckmann. (1966), The Social Reality of Religion. USA: Penguin Group.
Lucaks, G. (1971), History and Class Consiousness, London.
Roseau, J.J. (1973) ,The Social Contract and Other Discourses, London.
Shakespeare, W. (1606), Machbet, edit.A. R. Braun Muller, Cambridge University Press. 1997.
Shariati, A. (1979), On the Sociology of Islam, Berkeley, Ca.
Turner, S.B. (1983), Religion and Social Theory, London: SAGE Publications LTD.
Website
https://www.worldometers.info/coronavirus/ (Diakses 15 April 2020)
Tidak ada komentar