Penulis: A. Dian Fitriana (Dosen Manajemen Dakwah IAIN Parepare) Wabah virus corona sampai saat ini masih terus menghantui sejumlah n...
Wabah virus corona sampai saat ini
masih terus menghantui sejumlah negara di dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Virus yang pada awalnya melumpuhkan Kota Wuhan-China kini juga berdampak di
Indonesia dengan jumlah kasus yang terus mengalami peningkatan setiap harinya. Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh sindrom pernafasan akut virus SARS-COV-2 yang
menyerang proses pernafasan dan memiliki dampak mulai dari yang ringan seperti
pegal-pegal ringan, bersin atau batuk hingga dampak berat seperti susah
bernafas tanpa bantuan alat pernafasan. Berdasarkan
data terkini per tanggal 10 april 2020 jumlah positif mencapai angka fantastis,
3.293 jiwa. Jika melihat kebelakang, Indonesia me-release berita terkait kasus covid-19 pertamanya pada tanggal 2
maret 2020, namun belum menginjak 2 bulan, 280 jiwa dinyatakan meninggal dunia
akibat terserang virus mematikan ini (covid19.go.id).
Pemerintah Indonesia diwakili oleh
Kementerian Kesehatan menghimbau untuk melakukan pembatasan aktifitas
masyarakat dan mengeluarkan kebijakan work
from home (WFH) dan study from home.
Strategi jarak sosial ini dilakukan untuk mengurangi kontak orang yang
terinfeksi dengan kelompok besar dan memutus mata rantai penyebaran virus ini, dengan
cara menutup sekolah dan tempat kerja, membatasi perjalanan dan menunda segala
hal yang berkaitan dengan pengumpulan orang secara massal. Setiap warga
diharuskan untuk mengkarantina diri di rumah dan mengurangi aktifitas di luar
rumah.
Karantina dan isolasi diri dirumah
masing-masing tentu membuat segala aktifitas sebelumnya menjadi berbeda. Segala
aktifitas fokus dilakukan di dalam rumah, mulai dari bekerja, sekolah, dan
aktifitas lainnya selama 24 jam dalam sehari. Termasuk interaksi dan komunikasi
antar anggota keluarga satu dengan yang lainnya.
Alasan pekerjaan telah menciptakan
sebuah realitas keluarga di perkotaan saat ini. Pasangan suami-istri yang
seakan memiliki jatah untuk sekedar
berkomunikasi, dan orang tua seringkali tidak bisa menghabiskan waktu dengan
anaknya. Rumah menjadi tempat menumpang
bagi sebagian besar keluarga di Indonesia. Numpang
tidur, numpang mandi, tanpa
adanya interaksi humanis penghuninya demi alasan pekerjaan. Ayah dan ibu yang harus
berangkat kerja dari pagi hingga sore, anak yang berangkat sekolah dari pagi
dan melanjutkan aktivitas dengan les/bimbel hingga sore. Kasus lain sedikit berbeda jika sosok ibu
atau istri yang berperan sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT), ini sedikit memberikan ruang untuk
berinteraksi dengan anak sepulang sekolah, namun tentu minim interaksi dengan
suami yang harus berangkat pagi dan pulang sore atau bahkan tengah malam. Meski
ada libur di weekend namun tidak
sedikit keluarga yang masih saja melakukan aktifitas kantor di hari yang katanya hari khusus keluarga itu. Kasus
lainnya, seperti adanya keluarga yang terpisah tempat tinggal karena alasan
pekerjaan ataupun pendidikan dan hanya bertemu seminggu sekali, sebulan sekali,
setahun bahkan bertahun-tahun pun semakin memberikan jarak dalam berinteraksi
langsung. Sehingga rumah terkesan menjadi tempat persinggahan sebelum kembali
melanjutkan kegiatan masing-masing yang tentu mengakibatkan komunikasi menjadi tidak
intens.
Komunikasi yang kurang intensif
sangat rentan menjadi penyebab terjadinya disfungsi komunikasi tidak terkecuali
bagi sebuah keluarga. Kondisi rumah
tangga yang tidak harmonis dan tidak nyaman tentu akan membuat penghuninya
menjadi tidak betah, rentan konflik baik itu antara suami-istri maupun orang
tua-anak. Altman dan Taylor dalam Turner (2008) menjelaskan hubungan dapat
menjadi berantakan atau manarik diri (depenetrate)
dan kemunduran yang dapat menyebabkan disolusi hubungan. Bisa dibayangkan,
jika pada akhirnya terjadi disfungsi komunikasi ditengah himbauan pemerintah
yang mengharuskan masyarakat mengkarantina diri dan keluarga untuk tetap
dirumah demi menghindari penyebaran covid-19.
Momen #dirumahaja yang dikampanyekan
oleh pemerintah seharusnya menjadi ajang untuk mempererat ikatan antar anggota
keluarga. Ini mungkin menjadi salah satu hikmah dibalik musibah wabah virus
ini. Astri Gonzaga Dionisio, Child ptotection Specialist UNICEF Indonesia,
mengungkapkan bahwa Stay Home sebagai bagian dari gerakan pencegahan Covid-19,
merupakan waktu yang tepat untuk merajut komunikasi yang baik dengan anak dan
keluarga kita (liputan6.com). Dengan membangun saling pengertian (mutual understanding) satu sama lain,
saling menghargai (mutual apreciate) sudut pandang masing-masing, saling percaya (mutual confidence), mau menjadi
pendengar yang baik, mengayomi dan mau menerima perbedaan antara satu dengan
lainnya. Inilah kesempatan merajut
romantisme kekeluargaan yang terkoyak oleh tuntutan kapitalis, dengan membangun
keluarga yang memiliki kedekatan baik secara fisik maupun emosional.
Sejalan dengan ungkapan Soelaeman
dalam Moh Schohib (1998) yang mengungkapkan bahwa sebuah keluarga adalah
sekumpulan orang yang hidup bersama dalam sebuah tempat tinggal dan
masing-masing orang merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling
mempengaruhi dan memperhatikan satu sama lain. Membangun komunikasi keluarga
memang terdengar sangat sederhana namun tidak semudah yang dibayangkan. Tentu
membutuhkan komitmen bagi orang-orang di dalamnya, komitmen mengenai pentingnya
sebuah hubungan kekeluarga. Karena hubungan adalah sesuatu yang penting dan
“sudah ada dalam hati kemanusiaan kita” (Rogers dan Escudero, 2004).
Pakar komunikasi, Hafied Cangara,
menjelaskan unsur komunikasi dalam sebuah keluarga memiliki kesamaan dengan
komunikasi pada umumnya (2002). Sumber
dan penerimanya tentu berasal dari anggota keluarga yaitu ayah, ibu, dan anak. Pesan yang disampaikan secara tatap muka maupun dengan menggunakan media atau saluran komunikasi. Isi pesan menyangkut informasi,
ilmu pengetahuan, nasehat bahkan instruksi (himbauan).
Tujuan komunikasi keluarga tidak lain
adalah untuk memperkuat hubungan insani yang dikenal dengan istilah human relation. Hubungan yang lebih menitikberatkan pada
kepuasan keduabelah pihak dalam berkomunikasi. Terciptanya human relation akan meminimalisir konflik pribadi yang terjadi. Altman
dan Taylor dalam Turner (2008) mengungkapkan sebuah ikatan hubungan setiap
individu bergerak dari komunikasi superfisial menuju ke komunikasi yang lebih
intim. Keintiman lebih dari sekedar fisik, namun lebih kepada intelektual dan
emosional.
Setiap keluarga tentu memiliki cara
atau resep khusus mewujudkan keluarga
harmonis. Altman dan Taylor dalam Turner (2008) percaya bahwa setiap orang
memiliki hubungan yang bervariasi dalam hal penetrasi sosial mereka. Beberapa
hal seperti keterbukaan satu sama lain, sikap empati, dukungan yang diberikan,
perasaan positif dan kesamaan yang dimiliki, menjadi hal penting dalam membangun komunikasi dalam sebuah keluarga. Keterbukaan (self disclosure) mengandung arti bersikap terbuka dan jujur
mengenai perasaan/pemikiran masing-masing
tanpa adanya rasa takut dan khawatir untuk menegungkapkannya (Alo Liliweri,
1997). Idealnya setiap anggota keluarga menganut sikap seperti ini. Seorang
suami bersikap jujur dan terbuka kepada istri, istri tidak menyembunyikan
apapun kepada suami, orang tua yang harus berkata jujur kepada anaknya, pula
sebaliknya, anak yang harus selalu
diajarkan untuk jujur dan tidak menyembunyikan apapun kepada orang tuanya.
Selain keterbukaan, Empati menjadi hal
yang tidak kalah pentingnya dalam sebuah keluarga. Usaha untuk memproyeksikan
diri terhadap apa yang dirasakan oleh anggota keluarga lainnya. Meski tidak
mudah, namun untuk memahami dan memberikan perhatian, indikator ini
menjadi hal yang penting. Kecenderungan
merasakan sesuatu yang dirasakan orang lain ketika berada di posisi orang
tersebut (Umar dan Ali, 1992).
Dukungan yang diberikan satu sama lain juga menjadi bagian yang tidak
kalah pentingnya. Gordon dalam Lestira (1991) menjelaskan dukungan dilakukan
dengan cara-cara sederhana, yaitu memberikan kesempatan berbicara,
mendengarkan, bersama menyelesaikan konflik, bahkan dengan mengajarkan anak
untuk berkomunikasi dan menjadi pendengar yang baik.
Menciptakan perasaan positif dilakukan
dengan memulai berpikir positif terhadap diri kita sendiri sehingga kita pun
akan mulai belajar berpikir positif terhadap orang lain. Meminimalisir
kecurigaan kepada pasangan, tidak menuduh anak melakukan hal negatif tanpa
adanya bukti, apalagi tanpa didukung oleh komunikasi yang humanis. Kesuksesan
komunikasi dalam sebuah keluarga salah satunya ditandai juga dengan Kesamaan pemahaman, communication and similiarity are positively
related. Meski tidak dipungkiri
bahwa setiap individu pasti memiliki
perbedaan satu sama lain, namun hal tersebut sangat mungkin untuk
diminimalisir. Mulai berfokus pada penyelesaian masalah dan bukan pada
perbedaan ataupun mengungkit kesalahan masing-masing. Dengan adanya komunikasi,
permasalahan yang ada dalam sebuah keluarga dapat dibicarakan dengan menentukan
solusi terbaik.
Sebagai bentuk dukungan program pemerintah untuk tetap stay di rumah, banyak kegiatan keluarga yang bisa dilakukan.
Kegiatan yang tentunya tidak hanya dibatasi pada persoalan fisik namun ikatan
emosional dan intelektual seperti penguatan ilmu agama, mental dan karakter
anak pun bisa menjadi pilihan.
Komunikasi antara suami dan
istri ketika telah mencapai pertukaran
stabil (stable exchage stage) maka
artinya telah tiba di titik kejujuran total dan kaintiman tinggi, dimana
pengungkapan pikiran, perasaan dan perilaku memunculkan spontanitas dan
keunikan. Suami dan istri yang sedang berada dalam
sebuah ruangan berdua sambil melakukan aktifitas masing-masing, lalu kemudian
salah seorang diantaranya dengan sengaja mengeluarkan gas (flatulensi), maka yang lainnya akan tertawa meski dengan menyumbat
hidung menggunakan dua jarinya. Spontan tanpa ada perasaan tersinggung satu
sama lain. Altman dan Taylor dalam Turner (2008) menamainya sebagai keunikan
diadik (dyadic uniqueness). Tidak ada
lagi sekat yang membatasi hubungan keduanya untuk mengungkapkan spontanitas dan
keunikan yang belum tentu diterima dengan ekspresi yang sama jika dilakukan
oleh orang lain.
Dalam sebuah keluarga, seorang anak
menjadi salah satu goals dalam family time yang tentu tidak kalah pentingnya dibandingkan couple time. Keluarga menjadi lembaga
pendidikan pertama dan utama dalam membentuk kepribadian seorang anak. Jika di sekolah
ia mendapatkan pelajaran berupa ilmu untuk memperkaya wawasan dan
pengetahuannya, maka di rumah seharusnya
mereka mendapatkan ilmu untuk mempertebal keimanan, membangun karakter dan kepribadiannya.
Sehingga kasus-kasus di luar sana yang dilatarbelakangi oleh perilaku
menyimpang anak akan mudah diminimalisir, semua harus dimulai dari keluarga. Wisnu
Widjarnoko, akademisi Universitas Jendral Soedirman Purwokerto mengungkapkan bahwa
sebuah keluarga yang melakukan komunikasi secara intensif antar anggota
keluarga akan memberikan pengaruh signifikan pada tumbuh kembang anak
(tempo.co.id).
Salah satu fungsi dari sebuah
keluarga adalah fungsi edukasi, meski pendidikan pun didapatkan di sekolah
formal, namun pendidikan utama tetap ada pada keluarga, dimana seorang ibu
menjadi guru bagi anak-anaknya dan ayah menjadi kepala sekolah yang bertanggungjawab
terhadap semua anggota keluarganya.
Fungsi sosial juga tidak kalah
penting, dimana keluarga mendidik dan membiasakan jiwa sosial bagi para anggotanya
khususnya anak. Mengajarkan akhlak yang baik dan buruk sebagai bekal menghadapi
kehidupan. Ini menjadi ajang mengajarkan aturan atau norma yang berlaku di
masyarakat. Masyarakat bugis mengenal konsep pengajaran yang disebut pangadereng. Konsep yang erat kaitannya
dengan falsafah budaya Siri’, falsafah
yang lebih menekankan pada harga diri seseorang atau sebuah keluarga.
Budaya siri’ oleh masyarakat suku Bugis dianggap sebagai pegangan dalam
berprilaku. Dengan mengajarkan agar tidak melakukan pelanggaran ade’
atau hukum baik itu terkait keagamaan, kesetiaan dalam memegang janji, saling
memaafkan, mengingatkan dalam berbuat kebajikan, saling tolong-menolong sampai
pada memelihara sebuah ikatan pernikahan. Beberapa nilai-nilai siri’ yang bisa ditanamkan dalam keluarga seperti strategi dalam berkomunikasi
dan berdialog, Cappa Lila (Ujung Lidah), mengajarkan berkomunikasi dengan
penuh keterbukaan dan tutur kata yang santun.
Dalam bahasa komunikasi dikenal istilah Communication is irreversible, tidak bisa ditarik kembali. Dari pesan ini kita
diajarkan untuk selalu berhati-hati dalam menjaga lisan kita. Jangan sampai menyinggung perasaan
orang lain.
Selain cappa lila, pesan
lainnya sebagai upaya menjalin komunikasi dan interaksi yang baik adalah Sipakatau
(Memanusiakan manusia), yang bermakna saling menghargai dan
menghormati sesama manusia. Bertindak seenaknya akan membuat orang lain merasa
tidak dihargai dan tentu akan berakibat tidak harmonisnya hubungan dengan
sesama. Pesse (Teguh) yang bermakna kesetiakawanan terhadap manusia
dan bermakna loyalitas pada sebuah
komitmen. Selain ketiga hal di atas, juga terdapat beberapa ajaran seperti Parakai
Sirimu yang bermakna tanggung jawab dan pengendalian diri. Mampu
mengolah emosi dan tidak gampang terprovokasi apalagi terhadap hal yang bisa berbuntut panjang.
Paseng lainnya seperti Rupannamitaue
Dek Naulle Ripinra yang berarti hanya wajah manusia yang tidak bisa
diubah. Ungkapan ini bermaknanya kepercayaan diri dan sikap optimisme terhadap
perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Tekad untuk mengubah hal negatif
dalam diri setiap manusia menjadi
sesuatu yang lebih positif.
Sipatuo Sipatokkong Dan
Sipamali Siparappe yang berarti saling mengembangkan dan saling menghidupkan yang
berimplikasi pada saling membantu dan
memahami orang lain. Bekerja keras dan
mandiri, optimis menghadapi masa depan
pun menjadi salah satu ajaran untuk menjunjung tinggi falsafah siri’ yaitu Pajjama
(Pekerja keras). Sifat yang menunjukkan
etos kerja seseorang. Getteng (Tegas), ketegasan terhadap prinsip
hidup, adanya kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Pangadereng yang berlandaskan
siri’ tentu akan menjadi modal untuk para anggota keluarga khususnya anak
dalam menjalani kehidupan.
Memaksimalkan peran keluarga ditengah
pandemik dengan berkomunikasi intensif dan membangun pendidikan karakter
menjadi hal yang penting pada masa pandemik ini. Membuat Hari Keluarga Nasional
(HARGANAS) yang jatuh pada 29 Juni menjadi ajang perayaan hari keluarga yang paling melankolis, berkesan dan membahagiakan.
Bukan karena digelar mega event, namun
karena dirayakan dengan penuh kesadaran betapa berharganya sebuah keluarga yang
telah dibangun sebelumnya. Membangun kembali kesadaran masyarakat akan
pentingnya keluarga sebagai sumber kekuatan membangun bangsa dan negara. Karena
“Having somewhere to go is home. Having
someone to love is family. And having both is a blessing”. Rumah dan keluarga
adalah berkah yang tak ternilai harganya.
Tidak ada komentar