Page Nav

HIDE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Opini: Prakerja, Milenial dan Demokrasi Dialogis

Penulis: Mahyuddin, M.A (Dosen Sosiologi Agama IAIN Parepare) Isu yang menyeruak saat ini di permukaan publik adalah ajakan debat kau...

Penulis: Mahyuddin, M.A (Dosen Sosiologi Agama IAIN Parepare)

Isu yang menyeruak saat ini di permukaan publik adalah ajakan debat kaum Milenial perihal polemik kartu prakerja di tengah pandemi. Banyak tafsiran yang bermunculan sebelum dan sesudah pengumuman “konten pelatihan prakerja” dirilis, yaitu hadir respons dari berbagai pihak bertautan dengan keterlibatan “Staf Khusus Milenial” dalam konsensus dan kebijakan program pemerintah tersebut.

Kalau kita amati lebih dalam, ajakan debat terbuka oleh seorang Millenial di luar Istana kepada stafsus Milenial di lingkaran kekuasaan, ini adalah bentuk merawat akal sehat dalam berdemokrasi oleh kaum muda. Hal ini sesungguhnya diperlukan dalam membangun “demokrasi dialogis”, meminjam istilah Amir Yasraf Piliang bahwa dalam bernegara demokrasi, perlu menumbuhkembangkan prinsip yang di dalamnya diutamakan bentuk-bentuk dialog yang terbuka untuk mendiskusikan berbagai persoalan lalu menyelesaikannya.

Dalam konteks ini, mengambil sikap kritis terhadap kenyataan sosial yang berkembang di lingkungan masyarakat termasuk pemerintahan lalu didiskusikan secara terbuka adalah hal lazim. Itu adalah bagian dari mewujudkan hakikat demokrasi. Yaitu, ruang publik hendak terus dirawat dengan diskursus sosial politik agar para pemangku kebijakan cepat tanggap (resvonsiveness) terhadap aspirasi yang berkembang dari bawah (Addin, 2009).

Prakerja dan Ruang Publik

Ruang publik adalah istilah yang dipopulerkan oleh seorang ahli sosiologi Jerman, Jurgen Habermas. Dalam bukunya The Structural Transformation of the Publik Sphare, ia menyebut ruang publik sebagai ruang “private” tetapi diisi dengan percaturan yang menyentuh persoalan “publik”. Bagi Habermas ruang tersebut sesungguhnya berada di luar negara, tetapi berisi catatan kritis terhadap tindakan perangkat negara dalam melakukan formulasi dan eksekusi kebijakan. Habermas menyebut ruang tersebut dengan istilah the bourgeuis public sphare karena berisi para kapitalis yang gelisah dengan dinamika masalah ekonomi dan politik yang semakin pelik (Usman, 2017).

Tidak diragukan lagi polemik tentang Kartu Prakerja hari ini bersinggungan dengan keputusan kebijakan publik. Hadirnya program tersebut tidak lepas dari determinasi peran elite sebagai aktor politik yang memengaruhi proses pengambilan keputusan. 

Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, isu-isu publik tersebut bukan hanya para elite yang berada di pemerintahan (the governing elites) yang berperan dalam membahas dan merumuskan, melainkan juga mereka yang berada di luar pemerintahan (the non-governing elites) termasuk para Milenial memiliki andil memberi masukan atau mengkritisi kebijakan pubik tersebut untuk mengukuhkan diri sebagai rakyat, yang secara politik mereka berada pada posisi dan memiliki hak yang sama (political equality), sekaligus juga sebagai subyek yang harus didengar pandangannya dan diakomodasi keinginannya.

Opini publik yang terartikulasi dalam ruang publik tersebut menjadi bagian penting sebab hal ini beririsan dengan apa yang dikenal dengan jargon “suara rakyat”. Apalagi dalam kehidupan masyarakat maya informasi saat ini, isu-isu kebijakan politik dapat tersebar dengan amat cepat menjangkau penerima yang amat luas. Hal ini dapat dijadikan sebagai ruang sekaligus kontrol bagi penyelenggaraan negara menuju pemerintahan yang demokratis. Oleh Habermas disebut kerangka ideal transisi demokrasi politik, terutama pencerahan politik bagi warga negara.

Perbincangan prakerja terus berkembang di ranah publik. Bagi kelompok di luar pemerintahan, mereka ingin memastikan bahwa kebijakan program ini benar-benar menyasar pada mereka yang membutuhkan. Mereka meyakini bahwa partisipasi mereka memberi masukan kepada pemerintah memungkinkan kebijakan ini tidak lantas menguntungkan sekelompok golongan saja lalu meminggirkan hak-hak kalangan tertentu lainnya. 

Derasnya opini publik terkait isu kartu prakerja, menjadi sarana kelompok di luar pemerintahan untuk memberi masukan kepada pemangku kebijakan karena hal ini dianggap kurang tepat atau inkonsistensi. Sebagaimana diungkapkan peniliti kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) Defny Holidin bahwa program Kartu Prakerja digagas dengan asumsi bahwa negara dan masyarakat berada dalam kondisi normal yang baik-baik saja. Maka program tersebut menjadi tidak relevan dengan kondisi Indonesia sekarang yang mengalami pandemi Covid-19. Ditambah kondisi industri yang memburuk dengan banyaknya pekerja/buruh dirumahkan tanpa upah oleh perusahaan. Menurut Defni Holidin, “tantangan survival masyarakat bukan lagi mencari kerja, tetapi memenuhi kebutuhan subsisten, betul-betul bertahan hidup dengan seminimal mungkin sumber daya” (Tirto, 17/4/2020).

Hal yang sama juga diungkapkan para peneliti Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada. Mereka meneliti Pra Kerja untuk mengetahui potensi penerapan program ini dengan mempertimbangkan lanskap digital di Indonesia. Baginya, jika program tersebut dimaksudkan sebagai "Jaring Pengaman Sosial Nasional”, maka hal ini tidak efektif karena hanya menyasar dan terbatas pada orang-orang tertentu saja yang bisa mengakses. Tidak inklusif bagi setiap orang. 

Mereka pun mengakui bahwa program seperti ini bisa mendapat apresiasi untuk beberapa tahun ke depan, tapi untuk saat ini perlu mempertimbangkan, sebab ada kesenjangan digital pada masyarakat Indonesia. Tidak semua lapisan masyarakat bisa mengakses internet. Karenanya mereka menyimpulkan bahwa peluncuran upskilling atau menambah keterampilan ini belum menjangkau semua lapisan masyarakat Apalagi berbiaya mahal. Oleh karena itu, pemerintah perlu memikirkan ulang agar ini bisa terjangkau bagi semua, untuk merangkul lapisan masyarakat yang tidak memiliki akses internet yang cukup memadai (Ugm.ac.id 24/04/20).

Inilah wajah demokrasi. Dalam khazanah kebijakan sosial politik, akan terus memunculkan polemik dua sisi; memujanya sekaligus menolaknya sekadar sebagai keluhan atas ketidakpuasan warganya. Dengan perkataan lain, ruang diskusi ini lahir sebagai bagian spesifik dari yang dinamakan Habermas “masyarakat sipil”, yaitu terbuka bagi setiap warga negara yang merdeka untuk mendiskusikan persoalan-persoalan yang ada. Itu saya kira yang tengah berlangsung dan menjadi pendiskusian hangat masyarakat kaitannya dengan formulasi dan eksekusi program pemerintah yang bernama “Prakerja”.

Respons dan Diskursus Milenial

Dalam tradisi sosiologi, Milenial adalah kelompok yang disematkan pada kelahiran orang atau individu. Adalah sosiolog Karl Manheim yang memperkenalkan istilah ini. Dalam esainya “Das Problem der Generation”, ia menyebut generasi Milenial sebagai generasi Y. Mereka yang termasuk dalam generasi ini adalah orang-orang yang lahir di atas tahun 1980-an hingga 1997. Manheim menyebut generasi yang berbeda sebab melewati milenium kedua yang berarti melewati masa waktu seribu tahun.

Millenial menjadi istilah yang belakangan muncul dan akrab di telinga masyarakat Indonesia. Berdasarkan data pencarian Google Trend pada 30 Desember 2019, tercatat kata tersebut dipakai 2.940.000 kali. Angka ini mulai meningkat saat pengangkatan Staf Khusus Presiden dari kalangan Milenial, dan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata ini kemudian dinobatkan sebagai yang terpopuler di tahun 2019 (Media Indonesia, 06/01/20).

Sebagai representatif pemuda pemudi jaman now, mereka adalah kalangan yang saat ini tengah menjadi bagian penting dalam proses demokratisasi politik. Ini terlihat dari kebijakan pemerintahan saat ini yang mengakomodir generasi “Milenial” untuk kemudian menjadi perpanjangan tangan dari narasi pemerintah. Menyuarakan aspirasi kelompok muda-mudi.


Namun, ditengah riuhnya perbincangan Prakerja, peristiwa yang cukup menyita perhatian publik tatkala Bhima Yudistira, pengamat ekonomi INDEF sekaligus representatif kaum Milenial di luar kekuasaan, melayangkan debat terbuka kepada stafsus Millenial, Belva Devara. Undangan debat terbuka tersebut berisi ajakan mendiskusikan kartu prakerja, konflik kepentingan, oligarki Millenial serta permasalahan bangsa lainnya ditengah Covid-19.

Sontak di lini masa dibanjiri apresiasi. Banyak warganet atau netizen, tidak terkecuali politisi yang ikut bersuara. Mereka berharap jika hal itu benar-benar bisa direalisasikan. Bagi mereka ini akan menjadi tontonan menarik. Apalagi dalam undangan tersebut memang secara jelas dikatakan bahwa debat akan dilakukan dengan menggunakan Video Conference  dan disiarkan live di berbagai kanal media. 

Apa yang bisa diamati di ranah ini adalah bahwa artikulasi identitas Milenial ini merupakan respons politik mereka terhadap sengkarut dan pro kontra implementasi Kartu Prakerja. Mengingat gentingnya situasi saat ini, Milenial ingin mengambil peran-peran politiknya di mana suara Milenial ini diharapkan ampuh menjadi sarana counter politik, sehingga publik bisa memahami bahwa Milenial di luar kekuasaan juga bisa berkontribusi secara nyata bagi negara yang sedang berjuang melawan imbas ekonomi pagebluk Corona. Minimal menawarkan gagasan.

Inilah praktik diskursus sosial. Kelompok Milenial di luar kekuasaan menangkap ikhtisar problem sosial yang bersinggungan dengan kebijakan politik lalu memproduksi wacana setelah mengeksplorasi situasi. Ya, prakerja dianggap memerlukan kajian mendalam dan masih terbuka lebar untuk diperdebatkan demi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Ini mengingatkan kita akan gagasan sosiolog Michel Foucault, bahwa diskursus sosial bukan hanya mengatur apa yang dikatakan pada kondisi sosial tertentu namun juga mengatur siapa yang boleh berbicara, di mana dan kapan. Sebab, kekuasaan tersebar pada semua level formasi sosial. Tidak terkecuali bagi kalangan Milenial. Singkatnya, ada hubungan timbal balik yang saling membentuk antara kekuasaan dan pengetahuan (wacana) sehingga pengetahuan menjadi tak dapat dipisahkan dari rezim kekuasaan.

Karena Milenial menyediakan cara berbicara dengan membentuk wacana dan sekumpulan ide berbentuk pengetahuan yang terus berulang, maka wacana Prakerja dan Milenial ini menjadi “praktik diskursif”. Wacana ini tidak hanya menyentuh determinasi kekuasaan (pemangku kebijakan), tetapi juga mendapat pengakuan di ranah publik. Milenial sebagai subyek yang bertutur menawarkan isu-isu publik tersebut secara terbuka, mendapat legitimasi dan dukungan penuh dari berbagai pihak. Ini menandaskan bahwa fenomena tersebut ditangkap masyarakat luas sebagai sesuatu yang penting dalam rangka membangun konsolidasi demokrasi yang baik.

Perpaduan Berkuasa dan Siap Dikritik

Meski undangan debat itu pada akhirnya tidak dilayani balik, satu hal yang menjadi pelajaran penting di ranah ini adalah pengunduran diri salah satu stafsus Millenial, Belva Devara yang notabenenya aktor yang diajak saling tukar gagasan. Ia melayangkan pengunduran dirinya kepada Presiden setelah banyak muncul kritikan di masyarakat luas. Kaitannya dengan konflik kepentingan.

Dalam konteks berdemokrasi, ini merupakan kearifan berdemokrasi. Mundurnya Belva Devara yang diikuti rekan sejawatnya Andi Taufan, pemilik Amartha selaku Stafsus yang paling banyak disorot akhir-akhir ini adalah langkah yang tepat untuk mengurai persepsi dan multitafsir publik. Tentu kita tidak menafikan peran besar karya mereka selama ini. Tetapi ini lagi-lagi perihal tentang “politik etis Milenial”. 

Dalam kaitan ini, pertarungan opini yang melibatkan Milenial di lingkaran Istana dengan Milenial di luar kekuasaan menjadi diskursus menarik. Sebab, hal ini bisa menjadi bahan refleksi bagi kita semua. Bahwa makna demokrasi serta sikap demokratis yang sesungguhnya adalah ketika siap dikritik dan legowo mengundurkan diri secara terhormat jika aktornya memang melanggar prinsip moral, meminjam istilah Frans Magnis Suseno, cendekiawan dan filsuf kawakan kita yang pernah menulis buku Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern

Kesadaran berdemokrasi justru akan tumbuh pada saat seseorang memegang prinsip moralistik. Legitimasi kekuasaan akan bertahan apabila seseorang bertolak pada legitimasi etis. Mengapa? karena keabsahan wewenang kekuasaan seseorang sedikit banyak bersinggungan dengan segi norma-norma moral seiring dengan tuntutan-tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab terhadap setiap kebijaksanaan negara, sebagaimana dikatakan oleh professor Frans Magnis Suseno.

Pada satu sisi pengunduran diri ini memang berat. Hal tersebut bisa saja berdampak serius bagi kerja-kerja stafsus Millenial dalam berkontribusi membangun negeri. Tetapi di sisi lain, inilah etika politik berdemokrasi. Dalam situasi politik yang semakin tak menentu, memang diperlukan sikap politik yang selalu memerhatikan aspek “moralitas dan keteladanan” selaku bagian dari pejabat publik. Sehingga, tidak terjadi krisis kepercayaan publik dan krisis wibawa dalam menenangkan massa yang mulai gelisah.

Seseorang harus menggunakan kapasitas untuk melakukan pertanggungjawabannya kepada orang-orang yang memberinya delegasi secara baik dan benar. Seperti dalam bahasa Jurgen Habermas bahwa pencerahan kehendak politik itu efektif jika selaras dengan kehendak publik dan mampu berkomunikasi dengan tujuan-tujuan kesejahteraan publik (Khaidir, 2006). Bukan untuk kepentingan pribadi, terlebih untuk keuntungan kelompok dan golongan.

Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam proses penentuan kebijakan publik ini yang sarat dengan nuansa politis adalah fenomena yang penting dalam perjalanan demokrasi kita. Terbukanya ruang-ruang dialog merupakan langkah mengajukan asumsi agar setiap kebijakan terjadi evaluasi antar kelompok di dalam pemerintahan dan di luar kekuasaan. 

Itulah perwujudan demokrasi dialogis. Meminjam pernyataan tokoh bangsa kita Muhammad Natsir; “The Loyalty to the party ends, when the loyalty to the state begins”. Dialog atau kritik yang membangun dengan demikian adalah rajutan dialogis antara kepentingan-kepentingan politik untuk mencari kesepahaman bersama dalam membangun bangsa ini menuju kesejahteraan, adil makmur dan beradab.

Kita patut bersyukur ketika elit diingatkan para Millenial. Ini setidaknya mereka memiliki perhatian. Adalah kemunduran berdemokrasi ketika para pemudanya bersikap apatis. Apalagi jika sampai mereka berpikir skeptis. 

Untuk itu, kita berharap ada banyak muncul Milenial baru yang terus membela kebenaran dan keadilan untuk kemajuan Indonesia. Hemat penulis, kita perlu menaruh respek pada Milenial-milenial ini. Sekalipun itu perdebatannya berakhir di ranah publik, bukan di meja hijau. Tetapi, mereka setidaknya, telah menunjukkan kepada kita bahwa Milenial bersama orang-orang bercirikan “transparancy”, “honesty”, dan “integrity”.

Inilah kultur yang hendak terus dirawat untuk menguatkan demokrasi dialogis. Bangsa ini juga hadir awalnya dipenuhi perdebatan lalu menghasilkan konsensus-konsensus politik yang muaranya selalu diarahkan untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk mencapai titik keadilan itu, sering kali melewati berbagai aral yang tidak mudah untuk dilalui. 

Selamat Hari Buruh.!!

Tidak ada komentar

Kantor