Page Nav

HIDE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Peringati Hardiknas, Prodi Sosiologi Agama Bahas Tantangan Pendidikan

FUAD IAIN Parepare - Program S tudi S osiologi A gama mengadakan webinar Bincang Pendidikan Masyarakat Kontemporer memperingati hari pe...


FUAD IAIN Parepare- Program Studi Sosiologi Agama mengadakan webinar Bincang Pendidikan Masyarakat Kontemporer memperingati hari pendidikan nasional dengan tema Pandemi di Era Disrupsi dan Tantangan Pendidikan Kita. Kegiatan ini dilaksanakan pada aplikasi google meet, Sabtu (2/5) pukul 13.00 WITA. Kegiatan ini diisi oleh pemateri Mahyuddin, M.A dan Abd. Wahidin, M.Si. Kedua pemateri merupakan dosen Sosiologi Agama IAIN Parepare.

Pemeteri pertama, Mahyuddin, M.A di awal materi menjelaskan istilah disrupsi. Secara etimologi, kata disrupsi berasal dari bahasa inggris, disruption artinya gangguan atau kekacauan; gangguan atau masalah yang mengganggu suatu peristiwa, aktivitas atau proses. Istilah ini dipopulerkan oleh Clayton Christensen sebagai kelanjutan dari tradisi berpikir “harus berkompetisi, untuk bisa menang (for you to win, you’ve got to make somebody lose)” yang identik dengan dunia bisnis. Banyak bisnis yang terlalu mencintai produknya secara berlebihan dan lalu terjebak dalam arogansi. Pandangan awal ini dapat menjadi refleksi dalam menilai sistem pendidikan yang ada saat ini.

Mahyuddin menjelaskan empat peluang pendidikan, diantaranya ada saling keterhubungan melalui media artifisial New Media (Blog, FB, YouTube, Twitter, IG, GS), hadirnya beragam aplikasi penunjang belajar (Ruang Guru, Zoom, GC, GM, Podcast, Schoology, dll). Era Virtualitas dan Kebijakan “Merdeka Belajar”.

Namun, peluang tersebut juga diikuti dengan tantangan  di dalam Pendidikan, seperti indeks kesiapan teknologi Indonesia berada pada peringkat 75 dari 148 negara (WEF, 2013), indeks kapabilitas inovasi Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, yakni berada pada peringkat 47 dari 50 negara (Cath Up Index 2014, KKDSI UGM), hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet: 64,8 Persen Penduduk Indonesia Gunakan Internet atau terdapat 171, 17 juta pengguna (APJII, 2019).

Disrupsi pendidikan di masa pandemi juga menimbulkan masalah baru. Di sebagian tempat nyatanya lembaga-lembaga pendidikan kewalahan bahkan kelabakan dalam menghadapi situasi ini.  Meski telah ditopang dengan kehadiran alternatif belajar, belajar dengan suguhan wahana ruang maya ternyata tidak selamanya bisa menjadi alternatif pilihan saat ini.  Alih-alih ditunjang infrastruktur komunikasi dan informasi, bahkan penggunaan telepon seluler pun tidak semua dimiliki para orang tua siswa.  Peliknya lagi, orang tua siswa banyak yang terbebani dengan kemampuan membeli paket internet.

Pemateri yang juga aktif menulis di media lokal ini juga memaparkan empat hal mendasar di era disrupsi, yaitu  fenomena ketika masyarakat menggeser aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata, beralih ke dunia maya, disrupsi menginisiasi lahirnya model interaksi baru yang lebih inovatif dan massif, kehadiran teknologi mampu mengubah pola-pola lama bahkan membuat anomali dan  teknologi menggantikan peran manusia dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Strategi yang perlu ditempuh guna menghadapi era disrupsi dengan meningkatkan kemampuan SDM bidang TIK yang berkualitas dan berdaya saing guna mendukung penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan TIK, membangun infrastruktur TIK yang merata di seluruh wilayah NKRI,  melakukan penguatan regulasi dan peraturan perundangundangan kaitannya dengan penunjang belajar lembaga pendidikan di masa-masa krisis, meningkatkan proses difusi teknologi dan  mengubah kultur-kultur lama bagi pelaku pendidikan yang mengkerangkeng.

Di akhir pemaparannya,  Mahyuddin mengutip kalimat dari Albert Einstein “The measure of inttelligence is the ability to changeartinya, ukuran kecerdasan adalah kemampuan untuk berubah atau beradaptasi.

Pemateri kedua, Abd. Wahidin menyampaikan materi  pendidikan sebagai pembebasan dari dunia yang terlipat”. Abd. Wahidin menjelaskan bahwa fragmen-fragmen dunia yang dapat dilipat yang terasa mengalami perubahan budaya secara cepat, dramatis dan amat dipengaruhi oleh proses pengglobalan keadaan yang menyangkut hampir segala bidang kehidupan yang diakibatkan oleh media sosial, tayangan-tayangan televisi, video, atau jaringan komputer yang ‘pelan tapi pasti’ dapat menjadikan manusia tak lagi bermoral. Di sisi lain,  hubungan guru-murid  di semua tingkatan pendidikan, identik dengan watak bercerita. Murid lebih menyerupai bejana-bejana yang akan dituangkan air (ilmu) oleh gurunya pendidikan seperti ini menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai “celengan” dan guru sebagai “penabung".

Abd. Wahidin mewacanakan tiga prinsip gagasan conscientizaon Paulo Freire, yaitu tak seorang pun yang dapat mengajar siapapun juga, tak seorangpun yang belajar sendiri dan orang-orang harus belajar bersama-sama.

Pemateri juga mengungkapkan pandangan terkait kampus merdeka. Menurut Freire, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif, yaitu ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak, orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.  Hal ini sesuai dengan pandangan dari Nadiem Makarim. Selama ini paradigma dosen bersifat menggurui mahasiswanya, berceramah di dalam kelas, dosen sebagai  pihak yang terus memiliki informasi untuk diberikan kepada mahasiswa. 

Paradigma ini harus berubah menjadi dosen yang memfasilitasi pembelajaran mahasiswa, yaitu menjadi dosen penggerak. Dosen yang bangga jika kapabilitas mahasiswa melampaui ilmu sang dosen. (mif)


Tidak ada komentar

Kantor