Di tengah dunia dakwah kontemporer menunjukkan peningkatan intensitas ujaran kebencian, polarisasi identitas, dan penggunaan narasi kekerasan atas nama agama, yang secara signifikan mengaburkan nilai-nilai esensial dakwah Islam yang berlandaskan kasih sayang, dialog, dan persaudaraan. Kita dipanggil untuk kembali menyemai bahasa cinta dalam dakwah dan pendidikan. Inilah relevansi yang ingin ditegaskan oleh Kementerian Agama RI melalui gagasan “Kurikulum Berbasis Cinta”, sebagai ikhtiar mewujudkan pendidikan Islam yang rahmatan lil ‘ālamin. Sebagai deklarasi tentang misi kenabian yang mendasari seluruh strategi dakwah beliau: kasih sayang, kelembutan, dan cinta.
Cinta sebagai Fondasi Dakwah
Sejarah kenabian menunjukkan bahwa Rasulullah saw. tidak membangun peradaban Islam dengan kekerasan, melainkan dengan cinta yang terstruktur. Ketika nabi dihina oleh penduduk Thaif, beliau tidak mengutuk mereka, bahkan memanjatkan doa agar Allah membuka hati keturunan mereka. Ketika seorang Badui kencing di masjid, para sahabat geram, namun Rasulullah saw. malah memintanya dibiarkan selesai dan mengajarinya dengan lembut. Ketika musuh-musuhnya ditaklukkan di Fathu Makkah, mengutip perkataan Nabi Yusuf as. Kepada sudaranya, Nabi saw. bersabda: لا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ “Hari ini tidak ada balas dendam...” (HR. Muslim).
Inilah bahasa cinta: bukan kelemahan, tapi kekuatan moral yang menaklukkan hati. Bahasa cinta bukan kompromi nilai, melainkan metode pendidikan batin yang paling mendalam. Ia menyentuh sebelum mengubah. Mendidik sebelum menilai. Menyembuhkan sebelum menghakimi.
Antara Visi Cinta dan Realitas Perguruan Tinggi
Lembaga pendidikan kita hari ini—termasuk Perguruan Tinggi Islam—“bahasa cinta” masih sebatas jargon. Seringkali sistem pendidikan lebih menekankan hafalan ketimbang penghayatan, hukuman ketimbang pelibatan, dogma ketimbang dialog. Nilai-nilai Islam diajarkan, tapi tidak dihidupkan. Mahasiswa diajak mengenal Tuhan, tapi takut kepada Dosen. Padahal, Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala perkara” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini harus menjadi landasan pedagogis, bukan hanya pengingat spiritual.
Kurikulum Berbasis Cinta, jika tidak diimbangi dengan transformasi budaya pengajaran, hanya akan menjadi dokumen idealistis tanpa daya hidup. Yang dibutuhkan bukan hanya silabus, tetapi ruhanisasi pendidikan: guru yang tidak hanya mengajar, tapi mencintai muridnya; pembelajaran yang bukan hanya mentransfer ilmu, tapi menginspirasi nilai; lingkungan yang bukan hanya disiplin, tapi menyenangkan.
Bahasa Cinta dalam Dakwah dan Pendidikan Rahmatan Lil Alamin
Kurikulum berbasis cinta sejatinya merupakan implementasi konkret dari pendidikan rahmatan lil ‘ālamin. Cinta menjadi titik temu antara adab dan ilmu, antara hati dan logika, antara wahyu dan realitas. Pendidikan tidak lagi diposisikan sebagai proyek transmisi informasi, melainkan proses penyemaian makna hidup yang utuh.
Bahasa cinta dapat diinstitusionalisasi dalam tiga aspek:
1. At-Tarbiyah bi ar-Raḥmah (pedagogi dengan kasih sayang): Tenaga Pendidik harus dilatih untuk menjadi fasilitator yang inspiratif, bukan otoritatif. Kata-kata, gestur, hingga cara menegur harus mencerminkan cinta. Seperti Rasulullah ﷺ yang tidak pernah berkata kasar bahkan kepada musuhnya, guru pun harus menjadi teladan adab sebelum akademik.
2. Tanqiyat al-qiyam (Kurasi Nilai): dalam sistem pembelajaran, Buku ajar dan materi dakwah harus disusun dengan narasi yang membebaskan, memanusiakan, dan memberdayakan. Hindari narasi kekerasan simbolik dalam dakwah yang menyuburkan eksklusivisme dan kebencian terhadap yang berbeda. Bentuk nalar etis yang berjenjang dan membebasakan.
3. Bi’ah Tarbawiyyah Rahīmah (lingkungan pendidikan yang menenangkan jiwa): Perguruan Tinggi Islam perlu menjadi ruang rekreasi spiritual, bukan ketakutan administratif. Seni, budaya, dan ruang dialog lintas iman dapat menjadi bagian dari kurikulum untuk memperkuat simpul cinta kemanusiaan.
Menumbuhkan Generasi Penyebar Cinta
Kami membayangkan lahirnya generasi muda muslim yang ketika berdakwah tidak menuduh, tapi memeluk. Ketika berbeda pandangan, tidak mencaci, tapi berdialog. Ketika melihat yang lemah, tidak menghakimi, tapi menguatkan. Inilah generasi yang akan menjadi penerus jejak nabi: menyampaikan Islam bukan dengan kekerasan, tapi dengan keteladanan dan kelembutan. Seperti dalam sebuah kaidah Fikih Dakwah: الْأَصْلُ فِي الدَّعْوَةِ الرِّفْقُ وَاللِّينُ
"Asal dalam dakwah adalah kelembutan dan kasih sayang."
Demikian pula, Sabda Nabi Saw. الدِّينُ النَّصِيحَةُ “Agama itu adalah nasihat (cinta kasih)” (HR. Muslim). Maka pendidikan Islam sejatinya adalah pembudayaan cinta yang diterjemahkan ke dalam praksis keseharian: dalam ruang kuliah, di rumah, maupun di ruang publik.
Gerakan Kurikulum Cinta yang Inklusif
Untuk itu, Kementerian Agama RI perlu menegaskan kembali bahwa Kurikulum Berbasis Cinta bukan hanya program, tapi gerakan budaya pendidikan. Langkah penguatan dapat ditempuh melalui
- pelatihan berbasis kecerdasan emosional dan spiritual;
- revisi modul ajar yang menekankan moderasi, toleransi, dan nilai kasih sayang;
- penguatan kerja sama dengan perguruan tinggi, pesantren, komunitas lintas iman, dan lembaga sosial;
- penelitian dan publikasi pedagogi cinta sebagai ilmu.
Kurikulum Cinta harus menjadi basis pendidikan karakter, bukan sekadar pendidikan agama. Ia membangun manusia yang berilmu sekaligus berjiwa lembut, karena hanya cinta yang bisa menumbuhkan ketulusan, dan hanya ketulusan yang bisa menyalakan cahaya rahmat dalam kehidupan.
Sebagaimana Allah menurunkan Islam sebagai rahmat (wamā arsalnaaka Illā rahmatan lil ‘Ālamīn), maka sudah semestinya pendidikan Islam menjadi jalan penyebaran cinta, bukan rasa takut. Dakwah dan pendidikan yang menggunakan bahasa cinta akan jauh lebih mengakar dan bertahan lama, sebab hati yang disentuh dengan cinta takkan mudah membenci.
Menyalakan Pelita Kasih dalam Dakwah: Visi Cinta untuk Pendidikan Rahmatan lil ‘Alamin