Skip ke Konten

Semangat Kepahlawanan dari Lombok dan Bima, Refleksi 10 November Bersama Dua Putra Terbaik Nusa Tenggara Barat (NTB)

oleh: Saidin Hamzah (Dosen Sejarah Peradaban Islam IAIN Parepare)
9 November 2025 oleh | Belum ada komentar

Setiap 10 November, bangsa Indonesia menundukkan kepala mengenang jasa para pahlawan yang telah berjuang menegakkan kemerdekaan dan martabat bangsa. Hari Pahlawan bukan sekadar momentum seremonial tahunan, melainkan panggilan moral untuk meneladani semangat pengorbanan, keikhlasan, dan tanggung jawab para pejuang terhadap tanah air. Di antara deretan pahlawan nasional, dua tokoh asal Nusa Tenggara Barat memberikan inspirasi mendalam tentang makna perjuangan: TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Lombok dan Sultan Muhammad Salahuddin, Sultan Bima yang dikenal dengan gelar Maka Kidi Agama.

TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dikenal sebagai pendiri organisasi Nahdlatul Wathan, gerakan pendidikan dan dakwah yang lahir dari semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Melalui madrasah dan pesantrennya di Pancor, Lombok Timur, beliau menanamkan nilai-nilai keislaman yang berpadu dengan semangat nasionalisme. Dalam pandangan beliau, mencintai agama dan tanah air bukan dua hal yang terpisah, melainkan dua sisi dari satu pengabdian yang suci. "Hubbul Wathan Minal Iman" bukan hanya semboyan, tetapi menjadi ruh perjuangan dalam membangun kesadaran umat agar berilmu, berakhlak, dan berdaya.

Sementara itu, di ujung timur Pulau Sumbawa, Sultan Muhammad Salahuddin tampil sebagai figur pemimpin visioner yang memadukan nilai keagamaan dan pemerintahan. Sebagai Sultan Bima, beliau mendapat julukan Maka Kidi Agama, yang berarti penjaga dan penegak agama. Kepemimpinannya tidak hanya berorientasi pada kekuasaan, tetapi pada moralitas, pendidikan, dan pembinaan masyarakat. Dalam masa transisi dari kekuasaan tradisional ke masa kolonial dan kemerdekaan, Sultan Salahuddin menunjukkan kebijaksanaan luar biasa: berjuang mempertahankan kedaulatan rakyatnya tanpa kehilangan arah spiritual.

Kedua tokoh ini sama-sama menempatkan agama sebagai fondasi perjuangan. TGKH. Zainuddin Abdul Madjid membangun sistem pendidikan Islam yang melahirkan kader bangsa, sementara Sultan Salahuddin menghidupkan nilai-nilai Islam dalam tata kelola kerajaan dan kehidupan masyarakat. Keduanya sama berjuang dengan pena, pendidikan, dan keteladanan moral, yang justru menjadi kekuatan sejati dalam mempertahankan identitas bangsa.

Dalam konteks Hari Pahlawan, sosok mereka adalah pahlawan sejati, memperjuangkan kemerdekaan pikiran dan spiritualitas demi umat dan rakyat. TGKH. Zainuddin berjuang membebaskan umat dari kebodohan dan kejumudan, sedangkan Sultan Salahuddin membebaskan rakyat dari ketidakadilan dan penindasan, dengan cara menegakkan nilai-nilai agama dalam kebijakan pemerintahan.

Kini, di era modern yang serba cepat dan materialistik, semangat mereka terasa semakin relevan. Bangsa ini membutuhkan pahlawan-pahlawan baru yang berjuang di bidang pendidikan, moralitas, dan kemanusiaan. Generasi muda Nusa Tenggara Barat, khususnya, perlu meneladani semangat dua tokoh besar ini: berjuang dengan ilmu, berbakti dengan akhlak, dan berkorban untuk kebenaran. Mereka adalah simbol sinergi antara iman, ilmu, dan cinta tanah air.

TGKH. Zainuddin Abdul Madjid mengajarkan bahwa pendidikan adalah alat pembebasan, sedangkan Sultan Salahuddin menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati lahir dari ketulusan hati dan pengabdian kepada rakyat. Keduanya menegaskan bahwa nilai-nilai Islam tidak bertentangan dengan nasionalisme justru memperkuat nilai tersebut. Dalam bingkai keindonesiaan, perjuangan mereka adalah bukti bahwa spiritualitas dan patriotisme dapat bersatu dalam satu tarikan napas.

Pada setiap 10 November, mengenang mereka berarti menghidupkan kembali semangat untuk berbuat, bukan hanya mengenang. Sebab bangsa yang besar tidak hanya menghormati pahlawannya di atas batu nisan, tetapi melanjutkan perjuangan mereka dalam tindakan nyata dan menebar ilmu, menjaga persatuan, dan memperjuangkan keadilan sosial.

Jika TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menjadi pelita ilmu di Lombok, maka Sultan Muhammad Salahuddin adalah cahaya moral di Bima. Dua cahaya dari satu gugusan kepulauan yang menyalakan api perjuangan Indonesia bagian timur. Dari mereka kita belajar, bahwa pahlawan tidak lahir karena gelar, tetapi karena ketulusan untuk berjuang demi kebaikan umat dan bangsa.

Maka, pada Hari Pahlawan ini, mari kita jadikan warisan spiritual dan moral kedua tokoh ini sebagai cermin untuk berkaca: sejauh mana kita telah berbuat untuk bangsa. Sebab di tangan generasi sekaranglah semangat pahlawan itu akan hidup. bukan dalam kenangan, melainkan dalam tindakan nyata untuk membangun Indonesia yang beriman, berilmu, dan beradab.
di dalam Opini Fuad
Masuk untuk meninggalkan komentar