Page Nav

HIDE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

BURUH DAN PERUBAHAN SOSIAL TEKNOLOGI : SEBUAH REFLEKSI MAY DAY

Penulis: Mahyuddin, M.A (Dosen Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah) Hari ini tepat tanggal 1 Mei merupakan peringat...

Penulis: Mahyuddin, M.A (Dosen Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah)



Hari ini tepat tanggal 1 Mei merupakan peringatan hari buruh internasional. Hari buruh atau populer dengan istilah May Day diperingati sebagai ritual tahunan untuk mengenang para pejuang buruh (baca sejarah may day). Seperti biasanya, para pekerja seantero nusantara bahkan dunia melakukan aksi-aksi sosial dan teaterikal untuk memperjuangkan hak-hak kaum buruh.

Pada perayaan May Day, di antara tuntutan yang sering kali digaungkan oleh para buruh ialah upah buruh yang layak, sistem kerja kontrak outsourcing hingga jaminan sosial kesehatan dan hari tua bagi para buruh layaknya ASN/PNS. Prinsipnya adalah bagaimana masalah-masalah perburuhan diperhatikan oleh pemerintah.

Ancaman Eksistensi Buruh di Era Revolusi Industri 4.0

Terlepas dari persoalan-persoalan yang menjadi tuntutan para buruh di atas, satu hal yang perlu diperhitungkan dalam menyelami masalah buruh hari ini ialah dampak perubahan sosial bagi para buruh. Saban hari, perubahan demi perubahan terutama di bidang teknologi telah meminggirkan manusia itu sendiri dari dunia kerja.

Isu revolusi industri 4.0 adalah tantangan yang tengah dihadapi para buruh di abad ini. Tengoklah berapa banyak industri-industri besar di Amerika Serikat (AS), sebagai negara adidaya yang hari ini banyak melakukan pemutusan hubungan Kerja (PHK) lantaran cara kerja produksi tidak lagi bertumpu pada tenaga manusia. Wells Fargo misalnya, salah satu bank terbesar di Amerika yang berdiri sejak tahun 1852 ini, melakukan pemangkasan jumlah karyawan yang tidak tanggung-tanggung. Jumlahnya hingga 26.000 orang (Detik Finance). Ironisnya lagi, di antara penyebabnya lantaran maraknya sistem perbankan secara online di AS dan perusahaan tersebut lebih memilih memperluas pengembangan dengan sistem digital.

Tentu saja fenomena ini tidaklah mengherankan. Temuan Alec Ross dan Schuster, dua dosen Oxford University dalam buku tersohornya “The Industries of The Future” telah mengungkap bahwa dari 700 jenis pekerjaan yang di studi di Amerika Serikat, separuh di antaranya memang berisiko beralih ke komputerisasi, dan 47 persen di antara lapangan kerja tersebut berisiko tinggi diambil alih oleh robot.  Artinya, sebuah perubahan kadangkala memang sulit diatasi bahkan diantisipasi dampak sosialnya.

Bagaimana dengan konteks Indonesia? Saya kira fenomena ini tidak menutup kemungkinan akan merambah ke Indonesia. Ini hanyalah persoalan waktu. Bukankah Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) telah mewanti-wanti bahwa Indonesia saat ini telah dibayang-bayangi masalah PHK. Dan salah satu penyebabnya adalah revolusi 4.0 (Kompas.com).

Dari sini terlihat jelas bahwa Industri 4.0 membawa disruptif teknologi, meminjam istilah Rhenald Kasali, Guru Besar Manajemen UI, bahwa pekerjaan-pekerjaan yang kita kenal pada abad ke-20, perlahan tapi pasti digantikan oleh pekerjaan-pekerjaan baru berbasis teknologi. Perubahan teknologi secara perlahan akan menggeser kedudukan buruh sendiri dalam kerja-kerja perusahaan di mana mereka harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan era teknologi nan serba digital.

Jika ditelaah secara sosiologis, fenomena ini kita dapat maknai bahwa perubahan sebuah teknologi jelas membawa dampak penting dalam kehidupan sosial. Dalam arti kata bahwa jika teknologi suatu kelompok mengalami perubahan, maka cara berpikir dan bertindak manusia juga akan mengalami perubahan (Martono, 2011).

Tantangan Industri 4.0 bagi Buruh Indonesia

Kehadiran teknologi baru dalam cara kerja industri pasti membawa konsekuensi sosial maupun ekonomi. Maka secara pasti pula tenaga kerja kita mau tidak mau harus menyesuaikan diri (adaptasi sosial) akibat perubahan teknologi tersebut.  Apalagi jika merujuk pada data Kementerian Tenaga Kerja bahwa angkatan kerja Indonesia saat ini masih didominasi lulusan SD-SMP sebanyak 58.7 persen. Artinya, buruh atau pun angkatan kerja kita memang masih jauh tertinggal dari segi kompetensi terutama penguasaan teknologi bersebab mereka masih minim mendapatkan pengetahuan.

Ini yang disebut Karl Marx sebagai perkembangan masyarakat berlangsung sesuai dengan hukum dialektika dalam struktur ekonomi.  Struktur ekonomi bagi Marx adalah penggerak sistem sosial yang akan menyebabkan perubahan sosial maupun lingkungan ekonomi sekaligus juga menjadi dasar dari segala perilaku manusia.

Dalam kondisi ini para buruh kita akan mengalami tantangan besar. Mereka tentu saja tidak akan berdaya menghadapi perubahan ini. Kita ketahui bahwa persaingan kerja maupun bisnis hari ini telah bergeser pada penguasaan teknologi informasi dan kompetensi angkatan kerja. Mereka yang tidak memiliki skill dan knowledge yang cukup secara otomatis tidak akan mampu berkompetisi dalam dunia kerja. Imbasnya, angkatan kerja ataupun buruh jelas akan sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan tuntutan perubahan teknologi.

What Should We Do?

Mengamati tuntutan yang selama ini diperjuangkan oleh kaum buruh, maka sisi lain yang mesti diperhatikan oleh mereka yang masih teguh memperjuangkan hak-hak buruh adalah, perlunya terobosan pemerintah terkait ketersediaan angkatan kerja yang mampu bersaing. Investasi SDM wajib hukumnya. Buruh harus mendapatkan keterampilan-keterampilan yang sesuai tuntutan perkembangan pasar dan teknologi.

Sehingga, perlu kesepahaman bersama bahwa masalah sosial perihal buruh sangat terkait dengan isu perubahan sosial terutama di bidang teknologi.  Karena itu, pemerintah harus siap tidak hanya dari sisi regulasi, tetapi juga proteksi  bagi para buruh jika kita ingin para buruh selamat dari arus gelombang perubahan ini.

Selamat hari Buruh!

Tidak ada komentar

Kantor