Page Nav

HIDE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Opini: Noise dalam Kampanye “Social Distancing” Pencegahan Corona

Penulis: Nahrul Hayat, M.I.Kom (Dosen Komunikasi Penyiaran Islam) Di tengah kian mengganasnya penularan Virus Corona, sebagian masyar...

Penulis: Nahrul Hayat, M.I.Kom (Dosen Komunikasi Penyiaran Islam)

Di tengah kian mengganasnya penularan Virus Corona, sebagian masyarakat belum disiplin dalam menerapkan pembatasan sosial atau social distancing. Bahkan ketidakpatuhan ini masih terjadi di wilayah atau kota dimana telah ada korban meninggal akibat Virus Corona. Sebagai informasi, Per 21 Maret jumlah kasus positif Corona telah mencapai 514 dengan total korban meninggal sebanyak 48 orang (Sumber: worldometers.info/coronavirus). Para ahli memprediksi angka ini akan terus bertambah hingga pertengahan April 2020. Angka tersebut harusnya menjadi warning bagi masayarat Indonesia. Lantas, apa yang salah dari kampanye “jaga jarak” pemerintah? Mengapa masyarakat seolah acuh dengan imbauan tersebut? Apakah ini bentuk dari kegagalan komunikasi? Tulisan ini bertujuan untuk mendiagnosa masalah dari sudut pandang ilmu komunikasi. 

Unsur dan Noise Komunikasi

Komunikasi sebagai ilmu adalah studi terhadap produksi, proses, dan pengaruh pesan. Unsur komunikasi menurut Lasswell (1972) adalah pengirim (komunikator), pesan, media, penerima (komunikan) dan efek. Formulasi ini oleh pakar pemasaran dunia, Philip Kotler (1988) ditambahkan unsur noise (ganguan). Setiap unsur akan menentukan efektifitas komunikasi. Pada kesempatan ini yang akan dibahas adalah unsur noise. Noise sangat menentukan status penerimaan sebuah pesan. Jika pesan diterima secara positif maka komunikasi dianggap berhasil (effective), dan sebaliknya. Ganguan komunikasi yang akan digambarkan kali ini adalah ganguan fisik, ganguan teknis, ganguan semantik, dan ganguan psikologis.  

Pertama, ganguan fisik yang disebabkan oleh adanya kendala biologis dalam memproduksi pesan. Misal, seorang reporter karena kelelahan sehingga kurang fokus dalam merunut sistematika laporan berita atau tanpa sengaja salah sebut (slip of tongue). Kedua, ganguan teknis, bisa terjadi jika ada komponen teknis yang menghambat penyaluran informasi. Contoh, jika sebagian masyarakat belum memiliki perangkat media (TV, smarphone plus kuota-nya) untuk memantau update berita Corona.  Demikian juga ketika sudah memiliki TV atau smartphone tapi visual pada layar kaca rusak atau suara tidak jernih.  Ketiga, ganguan semantik, ganguan ini disebabkan oleh adanya kendala kebahasaan (linguistic obsticle) dalam mengirim dan menerima informasi. Telah banyak narasumber ahli berkomentar di TV dan keterangan dokter spesialis di berbagai media online untuk menjelaskan Virus Corona, akan tetapi tidak sedikit bahasa yang digunakan sulit untuk dipahami oleh orang awam. Diantara istilah yang cukup poluler misalnya adalah lockdown, social distancing, handsanitaizer, PDP, bahkan frase “penutupan tempat ibadah”. Pemilihan simbol bahasa tersebut sah saja jika ditujukan kepada khalayak sasaran (targeted audience) yang sifatnya umum.  Persoalan kemudian adalah bagaimana agar pesan tersebut sampai dan dimengerti oleh kelompok sasaran (targeted groups). Tiap kolompok target memilki karekaterisitik dan kompetensi bahasa yang beragam; sebut saja misalnya ‘emak-emak’ di pasar, remaja yang nongkrong di kafe, atau kelompok bermain anak-anak. Lazarfeld dkk. memperkenalkan istilah komunikasi two step flow, atau dua tahap komunikasi, dimana terdapat opinion leader yang menjembatani pesan dari media ke mayarakat luas. Seorang pemuka pandapat bisa berasal dari kalangan pejabat, pemuka agama, guru, toko masyarakat atau kepala keluarga. Diksi “social distancing” misalnya oleh guru  terhadap muridnya dapat diganti dengan kalimat “kita jaga jarak dari orang lain supaya kita aman dari virus jahat Corona; atau  “penutupan tempat ibadah” yang oleh ustad ke jamaahnya dapat diperhalus dengan “penundaan jumat berjamaah untuk menjaga keselamatan jiwa umat”, dan  disertai dengan penjelasan hadist yang mendasari pertimbangan Fatwa MUI.

Kekuatan Semiotika dan Differential Decoding

Ganguan berikutnya adalah dimensi psikologis. Untuk bagian ini, salah satu “bapak komunikasi” moderen, Wilbur Schram  (1972) memperkenalkan konsep “frame of reference” dalam keberhasilan komunikasi. Frame of reference (kerangka acuan) merupakan keseluruhan pengalaman, nilai-nilai, harapan, status sosial ekonomi, hingga  preferensi politik individu. Semakin luas jurang perbedaan frame of reference antara komunikator dengan komunikan maka semakin besar ganguan komunikasi. Di atas normativitas alasan ekonomi, fenomena ketidakpatuhan masyarakat terhadap imbauan pembatasan sosial juga dapat disebabkan adanya political prajudice (prasangka politis) yang negatif dari masyarakat terhadap pemerintah dan media(nya). Hal ini dilatarbelakangi adanya momori historis publik terhadap citra pemerintah. Lebih lanjut, Fiske (1987) mengatakan bahwa masyarakat kelas bawah memiliki kekuatan semiotika untuk membentuk makna sesuai keinginan mereka sendiri. Bahkan makna baik dapat dapat diinterpretasi buruk oleh decoder-nya.  Kampanye “Darurat Corona” dan “social distancing” dapat dimaknai oleh kalangan tertentu sebagai bagian dari teater politik penguasa untuk mempertahankan pengaruhnya. Penerapan pemaknaan opisisi seperti inilah yang disebut Stuart Hall sebagai differential decoding (McQuail, 2010). 

Tidak ada komentar

Kantor