Page Nav

HIDE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Opini: Kartini dan Segala Perumpamaan Perempuan

Penulis: Muh. Taufiq Syam, M.Sos (Dosen Ilmu Dakwah IAIN Parepare) Setiap kali mendengar kata ‘perempuan’, maka memori internal manus...

Penulis: Muh. Taufiq Syam, M.Sos (Dosen Ilmu Dakwah IAIN Parepare)

Setiap kali mendengar kata ‘perempuan’, maka memori internal manusia akan memberikan dua gambaran dari kata tersebut. Pertama, dari sisi biologis perempuan digambarkan sebatas sebuah susunan organisme makhluk hidup yang lemah dan gemulai. Kedua, dari sisi konstruksi sosial, perempuan digambarkan dengan sosok penyayang, lembut, perasa, pendamping, pelayan,  penggoda, pembawa petaka dan makhluk submisif (terdominasi). Kedua gambaran ini bersumber dari narasi yang terdapat dalam institusi-institusi sosial di masyarakat yang menjelaskan tentang perempuan.    

Dari sumber institusi agama-agama Abrahamik (Yahudi, Kristen dan Islam), secara teologis perempuan pertama diciptakan oleh Tuhan berasal dari tulang rusuk laki-laki dan diberi nama Hawa. Tujuan dari penciptaan Hawa sendiri sebagai jawaban atas doa Adam untuk menemani perjalanannya kelak. Keterangan ini dapat ditemukan dalam Kitab Kejadian (Genesis) 2:22-23:

Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku.Ia akan dinamai perempuan (ishah), sebab ia diambil dari laki-laki (ish)" (Gen, 2: 22-23). 

Tentang penciptaan Hawa juga dapat ditemukan di dalam Al Quran, Q.S. An-Nisaa’ 4: 1, yang terjemahannya: 

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan daripadanya Allah menciptakan isterinya (Hawa); dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu" (Q.S. An-Nissa’, 4: 1).

Penafsiran tentang Hawa yang berasal dari tulang rusuk inilah yang memberikan gambaran secara biologis bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah sebagaimana sifat dasar dari tulang rusuk itu sendiri. Di samping itu, penafsiran tentang penciptaan Hawa untuk menememani Adam tidak lebih hanya sekedar sebagai partner (pasangan) untuk menjaga keberlanjutan populasi manusia melalui proses reproduksi. Ketika perempuan disandarkan sebagai objek reproduksi, secara lansung juga telah memberikan negasi bahwa perempuan adalah objek kebutuhan.

Narasi tentang penafsiran perempuan sebagai objek kebutuhan, dapat ditemukan di dalam Buku Wanita dalam Sutta yang ditulis oleh seorang bikhu agama Budha yang beranama Bhikkhu Cittajayo. Dia menyebutkan bahwa perempuan berasal dari kata “empu” yang berarti “tuan” atau orang yang mahir atau berkuasa, keras, hulu, yang paling besar. Maknanya adalah perempuan menjadi tuan bagi dirinya sendiri, juga berarti yang paling dihargai. Lalu terjadi pergeseran makna dari kata ‘perempuan’ ke ‘wanita’ yang berasal dari Bahasa Sansekerta, dengan asal kata “wan” yang berarti nafsu, Artinya yang dinafsui atau sebagai objek nafsu. Dalam bahasa Inggris “wan” ditulis dengan kata “want”, dengan bentuk kata lampau “wanted” (dibutuhkan atau dicari). Kalimat “who is being wanted” yaitu seseorang yang dibutuhkan atau diinginkan (Cittajayo, 2018: 1). Kata wanita inilah yang menjadi bentuk eufemis perempuan di masyarakat.

Dimensi sosial tentang identitas perempuan di masyarakat sebagai objek yang memiliki kelemahan dan keterbatasan. Pemberian identitas tersebut bersumber perangakat-perangkat habitus (perilaku) sosial di masyarakat yang mendorong terbentuknya stigma tersebut. Para agen-agen sosial masyarakat terlibat lansung untuk mentransformasikan paham tersebut melalui ruang-ruang publik yang ada. Labelisasi terhadap citra perempuan dikemas dalam bentuk norma-norma sosial yang terkesan lebih mendiskreditkan pihak perempuan.

Labelisasi Perempuan

Perempuan adalah sosok penyayang, lembut dan perasa. Labelisasi penyayang digunakan untuk menunjukkan sifat seorang perempuan yang pengasih dan mudah iba terutama kepada hal-hal yang berkaitan dengan segala hal yang dicintai dan dimilikinya. Lembut digunakan untuk menunjukkan perilaku perempuan yang senantiasa menjaga keindahan sikapnya yang santun, ramah dan anggun. Perasa ditujukan kepada sifat perempuan yang sensitif dan tidak stabil ketika terjadi sebuah perubahan di dalam dirinya. Gambaran ini dapat ditemukan dalam rekfleksi sosok perempuan pertama yang dikenal dan memilki ikatan personal yang kuat dari setiap individu. Sosok perempuan yang dimaksud adalah ibu.

Selain ibu, terdapat sosok perempuan berikutnya yang juga memiliki kedekatan personal dengan invidu. Kedekatan dengan perempuan ini terbentuk setelah individu, khsusus laki-laki melakukan interaksi dengannya. Perempuan ini dikenal dengan sebutan istri. 

Sosok istri diidentikkan sebagai perempuan yang menjadi pendamping dan pelayan di dalam rumah tangga. Istilah pendamping digunakan untuk menunjukkan perannya sebagai mitra bagi seorang laki-laki di dalam keluarga. Istri yang menjadi perpanjangan tangan dari suami, bertugas untuk memastikan terlaksananya segala aturan dan ketentuan yang telah dibuat. Di samping itu, istri juga menjadi pelayan bagi seluruh anggota keluarga. Bertindak sebagai pelaksana tugas-tugas domestik di dalam rumah tangga, seorang istri dituntut agar mampu memberikan pelayanan yang maksimal bagi seluruh anggota keluarganya. 

Di sisi lain, sosok seorang perempuan juga memperoleh stereotip negatif tentang gambaran sikap yang terdapat di dalam dirinya. Perempuan dikatakan sebagai makhluk penggoda dan pembawa petaka. Asumsi seperti ini merupakan hasil dari klaim sepihak yang dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah yang pernah terjadi dan melibatkan sosok perempuan dalam kejadian tersebut. Sebut saja beberapa diantaranya adalah kisah tentang sosok Dewi Sita, Helene, Cleopatra dan Salome.

Dewi Sita adalah sosok perempuan yang dikisahkan dalam manuskrip wiracarita Ramayana mitologi agama Hindu. Dia dinarasikan sebagai penyebab perang besar antara bangsa Rakshasa yang dipimpin oleh Rahwana dan bangsa manusia yang dipimpin oleh Ramacandra yang dibantu bangsa Wanara dari Kerajaan Kiskenda yang bertujuan untuk pemberebutkan Dewi Sita (Richman, 2008: 37). Sosok berikutnya adalah Helene yang dikisahkan oleh Homeros melalui karyanya Iliad and Odyssey menggambarkan sosok perempuan cantik penggoda, istri dari Raja Sparta yang bernama Menelaos. Helene dikisahakan sebagai pemicu terjadinya Perang Troya yang melibatkan perseteruan Kerjaan Sparta dan Troya pada abad 13-12 SM yang memperebutkan dirinya (Burgess, 2001: 38). 

Selanjutnya, sosok dari Ratu Kerajaan Mesir Kuno tahun 69-30 SM yang bernama Cleopatra. Dia diceritakan sebagai penyebab terjadinya perang saudara di Kerjaan Romawi Kuno, sebagai akibat dari tipu muslihat yang dilakukannya (Middleton, 1997: 4-33). Terakhir adalah Salome yang di kisahkan dari Alkitab sebagai putri dari Herodias yang menghasut Raja Herodes Agung untuk membunuh Nabi Yohanes (Nabi Yahya a.s.) hanya karena diberikan nasehat bahwa segala perbuatannya adalah hal yang dilarang oleh Tuhan (Betsworth, 2010: 117).

Kisah-kisah ini hanyalah beberapa contoh yang diambil dari sejarah mitologi agama dan sejarah peradaban suatu bangsa yang menceritakan sisi buruk dari perempuan-perempuan yang menjadi penggoda dan penyebab datang sebuah malapetaka bagi orang lain. Kisah ini kemudian diformulasikan kembali sebagai rujukan bagi institusi soial di masyarakat untuk mengeneralisasikan citra perempuan karena bahwa pada dasarnya perempuan memilki potensi untuk melakukan hal-hal serupa, tergantung seberapa besar keinginan dan peluang yang dimilki untuk melakukannya.

Hal yang terakhir yang menjadi negasi terhadap perempuan, yaitu mereka adalah makhluk submisif (terdominasi). Hal ini bersumber dari paham patriarki yang memposisikan perempuan tidak lebih dari sekedar objek penerima kuasa yang di dalam masyarakat hanya berada pada kelas penerima intervensi dari dominasi para lelaki. 

Ikatan sosiokultural yang dikenal dengan istilah ‘kodrat’ (takdir) yang berlaku di masyarakat, memaksa mereka untuk senantiasa menjaga kepatuhan sikap dan perilaku berdasarkan pada term norma-norma sosial yang telah ditetapkan. Adanya ancaman tentang perempuan yang bertindak secara bebas akan menjadi ‘aib’ bagi keluarganya, secara bertahap terus menerus ditransformasikan. Menurut Weininger dalam bukunya yang berjudul Sex and Character: An Investigation of Fundamental Principles mengatakan bahwa perempuan yang tidak diberikan kekuasan untuk membuat konsep sendiri, sehingga mereka juga tidak dapat memberikan penilaian terhadap segala perubahan yang terjadi. Dalam pikiran perempuan mereka mampu berada pada posisi subyektif dan obyektif, akan tetapi pemikiran dari luarlah yang selalu menghalangi hal tersebut (Weininger, 2005: 139). Pembatasan akses tanggung jawab eksternal, membuat para perempuan terjebak dalam aktifitas yang monoton dan ketika menuntut hal tersebut, secara lansung dianggap sebagai sebuah diversi (pembangkangan).

Diversi bukanlah sebuah hal yang buruk untuk dilakukan oleh seorang perempuan ketika tujuan untuk memperoleh kepastian terhadap posisi mereka di masyarakat. Setiap upaya yang mereka lakukan bertujuan agar dapat memperoleh posisi yang seimbang dan adil dengan kaum lelaki. Hal ini hanya dapat terwujud apabila mereka mampu melakukan sebuah gerakan reponsif gender untuk memperoleh keseimbangan dan keadilan tersebut. Gerakan inilah yang dikenal dengan istilah emansipasi perempuan.

Kartini dan Perumpamaan Perempuan

Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh itu sukar,penuh duri, onak, lubang: jalan itu berbatu-batu, berjendal-jendal, licin ... belum dirintis! Dan walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun saya sudah akan patah di tengah jalan, saya akan mati bahagia. Sebab jalan itu sudah terbuka dan saya turut membantu meneratas jalan yang menuju ke kebebasan dan kemerdekaan perempuan Bumiputra” (‘Surat Kartini’, Dokumen 7: 7-10-1900).

Kutipan di atas merupakan salah satu isi dari surat-surat R. A. Kartini yang dikirimkan pada tahun 1899 s.d 1903 kepada sahabat-sahabantya, Ovink-Soer, Stella Zeehandelaar dan J.H Abendanon yang berada di Belanda. Kartini menyampaikan segala penderitaan dan kegelisahan yang dialaminya sebagai perwakilan dari para perempuan Bumiputra di Indonesia yang menjadi korban atas negasi yang terjadi di era feodal saat itu.

Kartini adalah putri Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ia lahir pada tanggal 21 April 1879. Kartini beruntung karena mendapatkan kesempatan untuk menikmati pendidikan di ELS (Europese Lagere School) yang dikhususkan hanya untuk putra putri dari kaum Bumiputra. Semangat belajarnya terlihat jelas ketika di sekolah dia menjadi salah satu yang cerdas di antara teman-temanya. Sejak kecil dia bercita-cita untuk menjadi seorang dokter.

Akan tetapi cita-cita tersebut harus dikuburnya dalam-dalam, karena pada usia 12 tahun dirinya harus dipingit untuk dipersiapkan menjadi seorang istri bangsawan lainnya. Kartini akan menjadi istri keempat dari Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodinngrat (Aning, 2005: 166-168). Pada masa itu sebagai seorang perempuan yang lahir dari golongan ‘ningrat’ (bangsawan), harus menjalani proses pingitan jika akan dilnikahi oleh seorang bangsawa. Hal ini merupakan bagian dari tradisi penerapan norma-norma kultural yang berlaku saat itu.

Norma kultural masyarakat feodal pada masa itu, memandang keberadaan seorang perempuan tidak lebih dari seorang calon istri. Meskipun, beberapa diantara mereka mendapatkan kesempatan untuk bersekolah, hal ini nyatanya hanya sekedar bekal bagi mereka untuk tetap menjaga citra para bangsawan tersebut agar dapat memiliki istri yang terpelajar.  Disamping itu, mereka juga nantinya akan bertugas untuk memberikan pembelajaran kepada anak-anaknya tentang tata krama sebagai seorang bangsawan.

Kartini sendri menolak tradisi tersebut. Baginya, seorang perempuan dapat memiliki hak yang sama dengan para lelaki. Setiap perempuan mampu untuk memilih jalan hidupnya sendiri, setiap perempuan dapat terlibat aktif dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga, setiap perempuan memiliki kemerdekaan untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi dan setiap perempuan berhak mewujudkan cita-citanya (Pane, 1945: 11-16). Selama masa pingitan, segala kegelisahannya itu dia tuangkan ke dalam surat-surat yang dikirim kepada para sahabatnya di Belanda.

Di dalam masa pingitan, selain terus berkirim surat kepada sahabatnya, Kartini juga membuka sekolah bagi para perempuan di Jepara. Di dalam keterbatasannya, dia memberikan pelajaran kepada mereka tentang segala hal yang dia ketahui. Tujuannya agar para perempuan ini juga memiliki kesadaran untuk mengubah tradisi yang selama ini mengekang kebebasan mereka, khususnya dalam hal mewujudkan cita-cita sebagai orang yang mandiri. Kartini tidak pernah dapat mewujudkan cita-citanya sampai dirinya meninggal. Dia meninggal pada tanggal 17 September 1904  di usia 25 tahun. 

Kartini merupakan sosok pejuang emansipasi perempuan Indonesia yang tidak ingin terikat oleh serangkaian perumpamaan – perumpamaan yang diciptakan oleh institusi sosial di masyarakat. Sebuah bentuk perlawanan atas labelisasi yang diterima oleh seorang perempuan lahir di masa feodalisme. Perjuangannya berfokus pada tuntutan penghapusan tradisi-tradisi budaya, agama, norma-norma sosial yang cenderung lebih bersifat patriarki dan terkesan lebih banyak mengekang kebebasan kaum perempuan. Perjuangan emansipasi yang dilakukannya sedikit banyaknya telah membuahkan hasil. 

Sampai hari ini, emansipasi perempuan telah dijalankan di berbagai sektor sosial masyarakat. Perempuan-perempuan di Indonesia sebisa mungkin mendapatkan hak dan kewajiban yang sama seperti yang diperoleh kaum lelaki, walaupun belum maksimal. Hal yang menyebabkan emansipasi ini belum berjalan secara maksimal karena masih rendahnya tingkat kepercayaan kepada perempuan untuk memperoleh hak dan kewajiban  yang sama. Setidaknya ada tiga alasan terkait hal tersebut. 

Pertama, para perempuan dikhawatirkan akan melalaikan tugas yang telah menjadi kodrat mereka, yaitu sebagai seorang istri dan ibu, yang menjadi pelayan di dalam rumah tangga. Kedua, para perempuan dikhawatirkan dengan mudah dapat terpengaruh terhadap hal-hal yang bersifat materialis. Ketiga, adanya kekhawatiran para perempuan akan memilki kuasa penuh di dalam struktur sosial di masyarakat, yang secara tidak lansung perlahan-lahan akan menghilangkan dominasi dari para lelaki. Akan tetapi perlu disadari, bahwa kekhawatiran ini hanyalah hasil dari bentukan konstruksi sosial tentang citra perempuan di masyarakat yang melibatkan para agen-agen sosial.

Oleh karena itu, mari bersama-sama melanjutkan perjuangan dari R.A Kartini sebagai pahlawan emansipasi perempuan, dengan mulai membangun sebuah kesadaran bahwa status perempuan dan laki itu dapat disamakan, baik dari segi pemberian tanggung jawab maupun pemerolehan hak.  Dengan menghapus segala citra negatif tentang perempuan yang selama ini telah diterima, setidaknya memberikan jalan agar terjadinya rekonstrusi pola pikir yang baru. Kalau hal ini dapat dilakukan oleh semua pihak, maka representase makna dari kalimat “Habislah Gelap Terbitlah Terang” bukan lagi hal mustahil untuk diwujudkan.

“SELAMAT HARI KARTINI UNTUK SELURUH PEREMPUAN HEBAT DI INDONESIA”

Di langit kami titipkan doa, agar segala perjuangan yang telah kalian lakukan sampai hari ini, senantiasa bernilai kebaikan di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

*Tulisan telah dimuat di tabloid LPM Redline  21 April 2020

DAFTAR PUSTAKA
Kitab Suci
Al Quran dan Terjemahan.
Holy Bible, Chapter Genesis (Kitab Kejadian).

Buku
Aning, Floribera S. (2005). 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Paling Berengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20. Yogyakarta: Penerbit Narasi
Betsworth, Sharon. (2010). The Reign of God is Such as These: A Socio-Literary Analysis of Daughters in the Gospel of Mark. A&C Black  
Bhikkhu Cittajayo. (2018). Wanita dalam Sutta. Jakarta:  Vihara Saddhapala
Burgess, Jonathan S., (2001).The Tradition of the Trojan War in Homer and the Epic Cycle. Baltimore: The Johns Hopkins University Press
Kartini, R.A,. (1921). Letters of A Javanese Princess, trans. Agnes Louise Symmers. London: Duckworth & Co
Middleton, Haydn. (1997). Cleopatra: The Queen of Dreams. Oxford University Press.
Pane, Armijn. (1945). Kartini: Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka
Richman, Paula. (2008). Ramayana Stories in Modern South India: An Anthology.Indianapolis: Indiana University Press
Weininger, Otto. (2005). Sex and Character: An Investigation of Fundamental Principles. Bloomington: Indiana University Press

Tidak ada komentar

Kantor