Page Nav

HIDE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Agama, Corona dan Arogansi Teologis

Penulis:  Mahyuddin, M.A (Dosen Sosiologi Agama IAIN Parepare) Pembicaraan tentang Ijtima Ulama Dunia 2020 di Kabupaten Gowa, Sulawes...

Penulis:  Mahyuddin, M.A (Dosen Sosiologi Agama IAIN Parepare)

Pembicaraan tentang Ijtima Ulama Dunia 2020 di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan mulai mereda. Pasalnya, pertemuan jemaah tabligh yang rencananya digelar tanggal 19 sampai 22 Maret dan dihadiri berbagai umat muslim dari berbagai negara tersebut, oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan pihak terkait, acara tersebut batal dilangsungkan. Pertimbangannya tentu saja karena acara tersebut hadir bersamaan dengan mewabahnya virus corona (Covid-19).

Di saat negara-negara di dunia sedang gencar melakukan kontrol bagi setiap warganya untuk tidak bepergian, masyarakat dikagetkan dengan sikap kukuh kelompok jemaah tersebut untuk tetap menggelar hajatan spiritual yang bergelar Ijtima Ulama Dunia Zona Asia itu setelah sebelumnya pemerintah setempat meminta menunda. Diketahui, di tengah pencegahan Covid-19, sekitar 8.000 jemaah sudah berkumpul. Kegiatan tersebut bukan hanya diikuti oleh peserta lokal dari seluruh Indonesia, tetapi juga melibatkan 48 negara turut serta di dalamnya (CNNIndonesia). 

Pertemuan ini tentu saja berpotensi membawa ledakan besar penyebaran epidemi Covid-19 jika perhelatan akbar ini dibiarkan berlangsung. Para jemaah dari berbagai manca negara tersebut tanpa mitigasi epidemi yang baik, akan mudah menebar virus dan menjangkiti orang-orang di sekelilingnya. Cukuplah kita kita belajar dari negeri jiran Malaysia, yang beberapa pekan lalu menggelar peristiwa serupa. Buntut panjangnya, kini negara Malaysia menerapkan kebijakan “lockdown”.

Paradoks Solidaritas Sosial

Secara sosiologis, berkumpulnya Jemaah Tabligh bergaya hidup komunal ini, meminjam istilah Najib, salah satu sosiolog UGM, sesungguhnya sama dengan pandangan kaum fungsional (fungsionalisme) yang melihat fungsi agama sebagai arena dalam menciptakan solidaritas sosial. Salah satu pemikirnya adalah Emile Durkheim, sosiolog Prancis yang banyak menelorkan teori-teori keberagamaan masyarakat. 

Dalam bukunya The Elementary Forms of The Religious Life, Durkheim menyatakan bahwa tiap-tiap individu yang beragama, memiliki semangat kebersamaan. Baginya, agama lebih memiliki fungsi untuk menyatukan anggota masyarakat di mana agama memenuhi kebutuhan masyarakat untuk secara berkala menegakkan dan memperkuat perasaan ide-ide kolektif. Agama mendorong solidaritas sosial dengan mempersatukan orang beriman ke dalam suatu komunitas yang memiliki nilai dan perspektif yang sama (Martono, 2011).

Namun demikian, hal yang membalik nalar publik dalam ijtima tersebut adalah mereka tetap ingin melaksanakan hajatan tersebut di saat pemerintah di berbagai penjuru dunia tengah menggelorakan “social distancing”, yaitu salah satu langkah pencegahan Corona dengan mendorong individu untuk menerapkan relasi sosial berjarak, mengisolasi diri atau tidak mendatangi kerumunan maupun keramaian. 

Tidak hanya itu, berhembus kabar bahwa pada awalnya pemerintah setempat tidak merokemendasikan acara tersebut dilaksanakan. Pemerintah yang tengah melakukan langkah protektif bagi setiap warganya, melarang kegiatan-kegiatan yang melibatkan orang banyak demi mencegah penyebaran pendemi yang berbahaya itu.

Dari fenomena tersebut memberi makna kepada kita bahwa membumikan agama (menggelar pertemuan) di tengah-tengah ancaman pendemi Corona bukanlah pilihan yang tepat untuk saat ini. Adalah rancu tatkala agama yang mengemban fungsi penyelamatan (salvation) dalam segala problematika frustasi masyarakat justru dinodai dengan semangat kebersamaan yang fatalistis. 

Dengan dalih lebih takut pada Tuhan, lantas bersikap egois, tak peduli nasib orang lain, enggan bekerja sama sehingga mengancam kesehatan orang lain. Ini seolah bertentangan dengan prinsip penting agama yang membantu manusia untuk menyesuaikan diri dengan masalah dalam kehidupannya.  

Teologi Fatalistik

Harus diakui bahwa aktualisasi diri dalam beragama merupakan kenyataan sosial yang memberi corak dan warna bagi setiap individu dalam bentindak. Oleh Max Weber, fenomena tersebut disebut sebagai tindakan sosial berorientasi nilai. Seseorang yang beragama akan bertindak menurut petuah-petuah atau nilai dan etika agama yang mereka yakini sebagai kebenaran. Dalam hal ini, teologi agama mempunyai peranan yang sangat penting dalam memengaruhi tindakan sosial individu.

Akan tetapi, satu hal yang perlu diketahui dalam khazanah beragama (secara khusus umat Islam) ialah terdapat perbedaan dalam hal paham teologi (Baca-Jabariah, Qadariah, dan Asy’ariyah). Perbedaan ini sangat bergantung pada sudut pandang dan cara seseorang memandang sebuah agama. Bentuk paling ekstrem adalah paham teologi tersebut kadang kala dijadikan alat untuk “menentang” sains. 

Apa yang bisa diamati di ranah ini adalah beredar video yang berseliweran di media sosial seorang ustadz dengan jumawa mengatakan “Baru satu macam virus Corona datang, seluruh dunia geger! gampang selesaikan itu corona, cukup dengan mengirim jamaah mereka ke tempat corona!, Virus Corona takut sama jamaah, jamaah tidak takut sama Corona! Jamaah hanya takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala! (ucapan ini disambut dengan pekikan takbir ribuan peserta).

Dengan nada agitasi, ia meyakinkan ribuah audien yang hadir dengan mengatakan “Allah yang kuasa, Corona tidak berkuasa! La ilaha Illa Allah!. (Jamaah pun bersautan mengulangi ucapan tahlil itu). “Itu baru dakwah namanya. Menyelesaikan masalah dengan cara sendiri, bertambah masalah, bertambah masalah! Begitu banyak biaya untuk menyelesaikan masalah, (masalah) bukannya berkurang, (tetapi masalah makin) bertambah!”, ucapnya dengan penuh semangat dalam video berdurasi 1 menit 6 detik tersebut.

Jika kita mendengar sepintas “ceramah agama” di atas tanpa merenungkan lebih mendalam atas dasar keberagamaan (dasar ilmu Islam), maka kita akan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran. Padahal, sulit dipungkiri bahwa logis-rasionalitas juga sangat menentukan  terhadap keberagamaan seseorang. Bagaimana mungkin bisa dibenarkan menurut agama dan menurut akal sehat ketika ada sesuatu hal yang membahayakan nyawa lantas kita lakukan. Bukankah sudah jelas bahwa jangankan mengadakan hajatan bersama atas nama agama, untuk shalat berjamah pun boleh ditinggalkan. Bahkan para ulama muslim di berbagai belahan dunia telah memfatwakan bahwa boleh meninggalkan shalat jum’at lantaran wabah yang mengerikan ini.

Dengan demikian, tampak bahwa seseorang akan terjerembab dalam arogansi teologis jika tidak dibarengi dengan pemahaman beragama yang memadai. Berkaitan dengan itu, saya ingin menutup oase ini dengan mengutip sabda Rasulullah SAW., “Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu.” (Muttafaq ‘alaihi).

Tidak ada komentar

Kantor