Page Nav

HIDE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Opini: Ketika Tuhan Menyapa Kaum Antrisionis dan Atribilious Lewat Sebuah Kata

Penulis: Muh. Taufiq Syam, M.Sos (Dosen Dakwah IAIN Parepare) Kata “TUHAN” di dalam bahasa latin dikenal dengan istilah “Dei” a...




Penulis: Muh. Taufiq Syam, M.Sos (Dosen Dakwah IAIN Parepare)

Kata “TUHAN” di dalam bahasa latin dikenal dengan istilah “Dei” atau “Deus” direpresentasikan sebagai perwujudan causa prima dari alam semesta. Peletakan legitimasi causa prima kepada Tuhan, atas dasar asumsi  keberadaan Yang Mutlak sebagai sebab awal sekaligus tujuan akhir atas segala pergerakan ruang dan waktu yang memiliki Zat Yang Maha Sempurna sebagaimana yang diyakini oleh para penganut paham deisme. 

Di dalam konsep keyakinan deisme, sosok Tuhan telah disandarkan kepada sosok Sang Pencipta alam semesta yang hanya kepadaNya segala sembah diberikan dan segala permohonan disandarkan. Hal ini merujuk kepada legitimasi tentang adanya kekuasaan tak terbatas yang dimiliki olehNya. Semakin besar keyakinan tersebut, maka semakin pasrah diri untuk mempercayakan segala sesuatu kepada Tuhan. Implementasi kepasrahan ini terwujud, ketika diri telah memutuskan untuk terikat pada sebuah institusi keyakinan, bernama agama.  

Ketika menyebutkan kata “agama”, maka secara langsung akan diberikan penafsiran bahwa agama berarti “tidak kacau” yang diikuti dengan pernyataan bahwa definisi tersebut bersumber dari arti etimologis agama yang terdapat dalam bahasa sansekerta. Penggunaan kalimat “tidak kacau” dalam mendefinisikan agama, memberikan citra bahwa agama merupakan sebuah sistem yang mengajarkan keteraturan. 

Di dalam kitab Surinagama, agama merujuk kepada kata A-GA-MA, huruf A yang berarti “awang-awang, kosong atau hampa”, GA berarti “genah atau tempat” dan MA berarti “matahari, terang atau bersinar”, sehingga apabila diartikan maka agama dapat berarti sebagai kekosongan pengetahuan tentang letak sebuah kebenaran yang sempurna. Sehingga, wajar ketika Ludwig Feuerbach dalam bukunya Das Wesen Der Religion (Esensi Agama), kemudian memberikan kritik bahwa manusia telah menciptakan sebuah sistem yang teratur dan mengikat bernama agama dan telah menciptakan suatu sosok bernama Tuhan dengan tujuan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan terkait untuk apa mereka menaati aturan tersebut. 

Bagi para penganut agama, pernyataan ini tentu saja tidak sesuai dengan keyakinan mereka selama ini. Bagi mereka, agama merupakan hal yang paling idealis untuk mempermudah proses interaksi antara manusia dengan Sang Pencipta, interaksi manusia dengan manusia yang lain serta interaksi manusia dengan alam. Untuk mengetahui bagaimana cara agar proses interaksi ini dapat berjalan dengan baik, dibutuhkan agen-agen yang dapat mentransformasikan hal tersebut dan mengajak orang lain untuk melakukan hal serupa.  Maka terbentuklah komunikasi agama, yang dikenal dengan istilah khotbah atau di dalam Islam dikenal dengan istilah dakwah.

Kegiatan berkhotbah atau pun berdakwah telah menjadi rutinitas umat beragama di seluruh dunia. Ajaran-ajaran agama yang berkaitan tentang tugas dan tanggung jawab seorang manusia, disampaikan dengan berbagai cara. Lisan, tulisan hingga implikasi dalam bentuk perbuatan adalah serangkaian bentuk penyampaian pesan-pesan agama. Di samping itu, kemampuan beradaptasi terhadap perubahan sosial yang terjadi, ternyata mampu memberikan penyesuaian bentuk metode khotbah/ dakwah yang akan digunakan. Salah satunya terkait penggunaan media pengirim pesan.

Perkembangan media pengirim pesan yang semakin modern telah mendorong pendistribusian pesan agama menjadi lebih efektif, efisian dan universal. Sehingga siapa pun, kapan pun dan dimana pun dapat menerima pesan tersebut. Akan tetapi, kemajuan yang pesat ini berbanding lurus dengan perubahan perilaku masyarakat. Perubahan inilah yang pada akhirnya mendorong terciptanya dua bentuk kaum beragama, yaitu kaum antrisionis dan kaum atribilious.

Kaum Antrisionis

Istilah antrisionis pertama kali dikemukakan oleh Bryan Wilson pada tahun 1966 dalam bukunya yang berjudul Religion in Scular Society, a Sociological Comment yang bersumber dari hasil penelitiannya terkait perilaku beragama masyakrat modern. Wilson menyimpulkan bahwa telah terjadi penggerusan (attrition) dominasi sosial institusi keagamaan akibat adanya proses urbanisasi, diferensiasi dan modernisasi yang dilakukan oleh orang-orang beragama. Oleh Bryan diistilahkan sebagai kaum antrisionis atau masyarakat sekuler.

Sekularisasi yang terjadi pada kaum antrisionis disebabkan karena adanya transisi umat beragama yang dulunya berada pada wilayah pedesaan, yang bersifat homogen dan tradisional, menjadi masyarakat perkotaan, yang heterogen dan menerapkan perilaku modern dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam kondisi seperti ini, aturan agama bukan lagi menjadi prioritas utama, karena telah digantikan dengan aturan-aturan masyarakat maju.

Kaum antrisionis tidak serta merta dapat dilabeli sebagai bukan umat beragama, mereka tetaplah bagian salah satu agama. Hanya saja, mereka secara umum menginginkan agar aturan-aturan yang terdapat di dalam agama, seharusnya mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Apabila ternyata aturan di dalam agama berbenturan dengan norma sosial masyarakat modern, maka sebaiknya aturan agamalah yang harus mengalah.

Kehadiran masyarakat yang bersifat heterogen dihadapan kaum antrisionis, dianggap sebagai sebuah hal wajar dan menjadi bagian dari modernitas. Kaum antrisionis menganggap bahwa pada dasarnya manusia memiliki kebebasan untuk memilih institusi keagamaan yang mereka inginkan. Orang lain tidak punya hak untuk melarang kebebasan tersebut karena sifatnya yang asasi. Bahkan jika memungkinkan dan dirasa perlu, maka informasi tentang hal tersebut harus disampaikan seseorang sedang berkhotbah atau berdakwah. 

Penyampaian pesan-pesan agama yang diberikan oleh kaum antrisionis, lebih cenderung menekankan tentang konsep pluralis dan liberalis kepada umatnya. Salah satu alasanya untuk menghidari chaos antar umat beragama yang dampaknya dapat mempengaruhi interaksi masyarakat modern yang heterogen. Sehingga, pada akhirnya paham tentang fungsi dari agama yang bertujuan untuk mencari kebenaran yang sempurna, digantikan dengan pernyataan bahwa kebenaran yang sempurna itu adalah ketika semua umat beragama mampu menerima perubahan yang terjadi. 

Macintyre dalam bukunya yang berjudul Secularization and Moral Change mendeskripsikan bahwa norma-norma yang dapat membangun kehidupan sosial masyarakat maju, haruslah bersifat universal bagi semua. Oleh karena itu, kaum antrisionis berpendapat bahwa bukan lagi saatnya kita berkontestasi untuk perebutkan legitimasi agama yang siapa yang paling benar, yang ada sekarang, yaitu marilah bersama-sama memperebutkan struktur sosial kekuasaan di masyarakat sebagai hak asasi yang telah dianugerahkan oleh Tuhan.

Akan tetapi, modernitas tidak selamanya menghasilkan masyarakat sekuler yang telah mengenyampingkan agama sebagai sesuatu yang bersifat fundamental, akan tetapi agama masih tetap memiliki kekuatan untuk mengatur masyarakat modern. Hal inilah yang ingin disampaikan oleh kaum atribilious.

Kaum Atribilious

Atribilious merupakan antitesa terhadap antrisionis milik Bryan Wilson. Istilah ini pertama kali digunakan oleh David Martin dalam bukunya yang berjudul The Religious and the Secular yang diterbitkan pada tahun 1969 untuk mengkritik pendapat Wilson. Atribilious disimpulkan sebagai kekuatan doktrin ajaran agama sebagai aturan pokok dalam menjalankan proses interaksi di masyarakat modern. Hal ini disebabkan oleh asumsi bahwa agama telah memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan masyarakat dari dulu hingga sekarang, sehingga meskipun telah terjadi perubahan sosial di masyarakat, agama akan tetap dijadikan rujukan utama dalam menetapkan aturan.

Kepercayaan terhadap hal-hal magis, takhayul dan keyakinan irrasional lainnya masih tetap melekat kepada kaum atribilious, meskipun mereka telah menjadi bagian dari masyarakat modern. Pokok pemikirannya terletak pada kepercayaan bahwa segala yang terjadi di alam semesta ini, merupakan kehendak dari Tuhan. Apabila yang terjadi bersifat positif, maka itu adalah nikmat Tuhan, sedangkan apabila yang terjadi bersifat negatif, maka hal tersebut merupakan ujian dan cobaan yang juga datangnya dari Tuhan. 

Bentuk kepasrahan yang dipraktikkan oleh kaum atribilious lebih cenderung melankolik. Salah satu alasanya adalah untuk memperkokoh posisi agama sebagai pusat dari segala bentuk aturan bagi manusia. Sehingga pada akhirnya konsep kebenaran yang sempurna semata-mata hanyalah milik bagi umat beragama yang taat. 

Kaum atribilious merupakan representasi dari masyarakat modern yang masih menjalankan kultur masyarakat homogen. Hal ini bertujuan untuk memperkuat posisi mereka di masyarakat dalam kontenstasi perebutan klaim sebagai agama yang paling sempurna di masyarakat. Upaya ini dilakukan dalam bentuk ajakan ketika mereka berkhotbah atau berdakwah, yang lebih menekankan konsep fundamentalis dan radikalis kepada para pengikutnya.

Penyampaian pesan-pesan keagamaan yang menggunakan kitab-kitab agama sebagai rujukan atas segala aturan, dikemas dalam bentuk validasi perintah Tuhan kepada umat manusia untuk menjalankan segala perintahNya dengan ancaman bahwa akan ada konsekuensi dalam bentuk musibah dan bencana yang akan diberikan oleh Tuhan apabila hal ini dilanggar. Sehingga secara otomatis mau ataupun tidak, mereka harus menjalankan perintah tersebut agar hidupnya menjadi damai dan tentram.

Doktrin agama dari kaum atribilious yang menggunakan institusi agama untuk mengontrol kebebasan manusia, kemudian mendapatkan kritik dari Friedrich Engles dalam bukunya yang berjudul Socilism: Utopian and Scientific dengan membuat pernyataan bahwa untuk mengontrol masyarakat agar tetap teratur, maka diperlukan perangkat-perangkat moral, dan perangkat moral yang paling kuat dan utama untuk mengatur masyarakat adalah agama. 

Oleh karena itu, wajar apabila pada akhrinya kaum atribilious diindentikkan sebagai orang-orang beragama yang selalu mendramatisasi segala sebab musibah dan bencana yang terjadi di alam semesta ini sebagai bentuk ujian dan cobaan dari Tuhan. Tujuannya satu, agar manusia dapat dengan mudah dikontrol dan diatur dengan menggunakan doktrin agama.

Kaum antrisionis dan kaum atribilious memiliki sebuah persamaan, yaitu keduanya sama-sama umat beragama dan meyakini keberadaan Tuhan. Bedanya, kaum antrisionis lebih kepada konsep rasionalitas, sedangkan kaum atribilious tetap pada konsep fundamental. Letak perbedaan ini dapat dilihat ketika keduanya sedang menyikapi alasan terjadinya sebuah musibah atau bencana.
Lantas bagaimana ketika Tuhan menyapa mereka? Jawabannya adalah lewat sebuah kata.


Tuhan Menyapa Lewat Sebuah Kata

Pada awal tahun 2020 sampai dengan hari ini, tampaknya Tuhan memang sedang ingin menyapa kaum antrisionis dan kaum atribilious. Setidaknya ada dua alasan mengapa Tuhan sedang ingin menyapa mereka, yang pertama karena Tuhan rindu kepada kaum antrisionis yang semakin lama semakin jauh dariNya, alasan kedua karena Tuhan ingin membuktikan kuasanya kepada kaum  atribilious yang sampai hari semakin kuat kepercayaan mereka terhadap diriNya. Tuhan sedang menyapa mereka lewat sebuah kata yaitu corona. 

Sampai dengan hari ini, virus corona atau COVID-19 telah menjangkit 196 negara, dengan total kasus sebanyak 381.739 kasus dan total jumlah kematian sebanyak 16.558 jiwa (www.worldometers.info). Pandemi ini dinobatkan sebagai bencana internasional luar biasa. 

Corona merupakan ancaman yang sangat menakutkan, karena sebagai sebuah mikroba yang ukurannya hanya diperkirakan sebesar 125 nanometer atau 0,125 mikrometer, sehingga tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Ukuran yang sangat kecil inilah memungkinkan virus corona ini dapat dengan mudah masuk ke tubuh manusia ketika terjadi kontak dengan virus tersebut. Siapa pun punya potensi untuk terjangkit virus ini, tanpa memandang mereka adalah masyarakat perkotaan atau masyarakat pedesaan, tanpa memandang mereka adalah masyarakat heterogen atau masyarakat homogen, dan juga tanpa memandang mereka adalah kaum antrisionis ataupun kaum atribilious. 

Kaum antrisionis dan kaum atribilious memiliki perbedaan sudut pandang terkait eksistensi dari virus corona. Perbedaan ini terletak dari sudut pandang penyebab kemunculan virus corona, dan akibat yang dapat dimunculkan dari mewabahnya virus tersebut. 

Bagi kaum antrisionis yang berpikiran realistis, mereka menyatakan bahwa kemunculan virus ini disebabkan karena adanya perilaku hidup tidak sehat dari masyarakat modern yang mulai mengabaikan standarisasi kebersihan dan kesehatan yang berlaku di masyarakat. Termasuk ketika hal tersebut disangkutpautkan dalam pesan-pesan keagamaan.

Di dalam ajaran agama apa pun, kebersihan merupakan bahasa universal yang menunjukkan ciri umat beragama. Kebersihan telah menjadi salah satu bagian terpenting dalam menjalankan perintah agama. Ketika terjadi sebuah bencana, misalnya seperti virus corona, muncul asumsi bahwa hal tersebut terjadi karena mereka telah mengabaikan perilaku hidup sehat. Oleh karena itu untuk mencegah peyebaran virus ini,  maka setiap orang wajib menerapkan kembali perilaku hidup sehat.

Di sisi lain, bagi kaum atribilious yang berpikiran fundanmental, kemunculan virus corona disebabkan oleh adanya kekuatan supranatural yang mengendalikan alam semesta ini. Kekuatan supranatrul tersebut disandingkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Berkendak.

Ketika manusia sedang dilanda sebuah musibah atau bencana, hendaknya mereka harus kembali merenungi dosa-dosa yang telah mereka perbuat. Dosa yang diidentikan sebagai nilai atas sebuah pelanggaran atas ajaran-ajaran agama. Virus corona merupakan ujian dan cobaan, sebagai sanksi dari Tuhan bagi manusia agar mereka kembali kepada ajaran agama. Oleh karena itu, sudah seharusnya umat beragama senantiasa berdoa dan memohon ampun kepada Tuhan agar musibah ini cepat berlalu.

Di luar dari perbedaan pendapat dari kedua kaum tersebut terkait penyebab dan akibat dari kemunculan virus corona, penulis memiliki asumsi sendiri bahwa bisa saja ini merupakan wujud kerinduan Tuhan kepada umat manusia yang ingin agar tidak ada lagi pertikaian yang muncul di antara mereka, terkait kaum siapa yang paling benar. Salah satu cara untuk menghentikan pertikaian tersebut adalah dengan memisahkan individu dari kaumnya, dan hal itulah yang hari ini terjadi dalam bentuk social distancing.

Pemberlakuan social distancing dalam rangka pencegahan virus corona, bisa saja menjadi upaya agar setiap individu yang berasal dari kaum atribilious menyadari tentang pentingnya perilaku hidup sehat bagi diri sendri, dan juga memberikan kesempatan kepada individu yang berasal dari kaum antrisionis untuk merenungi segala dosa yang telah mereka lakukan, baik oleh diri sendiri maupun kelompoknya. Proses penyilangan pemahaman antar kedua kaum ini, diharapkan mampu menghilangkan segala sifat egois yang bersumber dari kelompoknya dan dapat meredam konflik yang terjadi diantara keduanya. Sungguh hanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak yang dapat menjadikan ini semua dapat terwujud. Hanya cukup lewat sebuah kata.   










Tidak ada komentar

Kantor