Page Nav

HIDE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Opini: Menggugat Keberagamaan yang Egosentris

Penulis: Mahyuddin, M.A (Dosen Sosiologi Agama ) Mencermati perkembangan kondisi keberagamaan umat di masa pandemi ini, semakin ...


Penulis: Mahyuddin, M.A (Dosen Sosiologi Agama)





Mencermati perkembangan kondisi keberagamaan umat di masa pandemi ini, semakin jelas bagi kita tentang adanya kontradiksi antara cita-cita dan harapan. Kita semakin sadar bahwa perilaku beragama tak selamanya membentuk keteraturan sosial. Itu bartautan dengan semakin maraknya potensi pertikaian sosial antar kelompok masyarakat yang melibatkan simbol-simbol agama ditengah pro kontra anjuran beribadah di rumah.

Fenomena ini barang kali bukanlah topik yang menyenangkan untuk dibicarakan namun hal tersebut menjadi penting di masa-masa ini. Mengingat berbagai peristiwa yang terjadi di negeri kita, sering kali dilatari sikap arogansi teologis. Sebuah perilaku dalam beragama yang suka memaksakan kehendak. 

Emosi-emosi individu dan kelompok telah diamati secara nyata dalam masyarakat. Semakin ke sini, semakin tampak bahwa tidak sedikit di antara kita yang bersikap dan bertindak kurang mengesankan demi ambisi melaksanakan ritual beragama. Oleh Eko P Darmawan, penulis buku “Agama Itu Bukan Candu”, disebut keberagamaan kita terlalu sarat dengan “egosentris”. Bahwa kita kadang kala terperangkap dalam gubangan sikap beragama yang hanya mementingkan diri sendiri, diselimuti egoisme diri. 

Tindakan sebagian anggota masyarakat yang tidak ingin mengindahkan anjuran fatwa ulama semasa swakarantina merupakan penyebab utamanya. Pembatasan sosial yang diciptakan otoritas terkait demi memutus mata rantai penularan virus, semakin dalam dan kuat norma sosial tersebut, tidak ditemukan titik temu.

Kita saksikan marak di berbagai tempat sebagian anggota masyarakat justru melakukan aksi-aksi penolakan. Betapa tidak, ada yang ingin membongkar masjid hanya karena masjid tidak difungsikan untuk sementara waktu (Baca; Takmir Bongkar Masjid). Peliknya lagi, ada juga yang sampai memolisikan aparat pemerintah atau membawanya ke ranah hukum lantaran merasa dibatasi untuk beribadah di masjid (Baca; Camat Dipolisikan).

Fenomena di atas tengah menggelinding di sebagian tempat. Ini cukup aneh. Sebab hal tersebut justru membahayakan keselamatan diri dan orang lain. Tindakan tersebut secara langsung atau tidak langsung telah mendikotomikan posisi agama dengan eksistensi hidup. Bahwa menjaga kehidupan dan kesehatan diri dan orang lain di sekeliling kita adalah sebuah kewajiban moral dan tanggung jawab sosial dalam beragama di mana haram membunuh atau menjadi sumber kematian bagi diri sendiri terlebih buat orang lain.

Islam yang Bermisi “Rahmatalilalamin

Sekalipun hanya sebagian kecil dan beberapa tempat saja yang menyuguhkan tindakan kurang terpuji itu, tetapi fenomena tersebut telah memperlihatkan kepada kita bahwa ada keterputusan daya sambung bagi umat kita dalam membumikan misi Islam yang menjadi “rahmat bagi  alam semesta”. Fenomena ini, meminjam istilah Darmawan, meruntuhkan keagungan agama itu sendiri dalam kesempurnaanya yang hakiki. 

Peningkatan ketegangan hubungan antarkelompok di tengah-tengah masyarakat kita ini menjadi penanda ada ketidak-berperanan Islam yang bermisi rahmatalilalamin. Keberagamaan kita makin jauh dari penelaahan Islam sebagai pembawa “rahmat” karena agama, sudah dirampas oleh kepongahan yang memisahkan agama dan keselamatan jiwa (tubuh-tubuh manusia) yang tadinya menyatu dalam gerak dan nafas manusia dalam menjalankan ritual-ritual keagamaan sebagaimana yang telah dicontohkan panutan kita, Muhammad Sallahu Alaihi Wasallam.

Dalam masa ini, sebagian dari kita ada yang menabrakkan agama dengan sains kedokteran modern. Mereka mungkin lupa bahwa perkembangan kedokteran modern hari ini, juga tidak lepas dari peran besar ulama Islam. Ibnu Sina-lah yang memprakarsai itu (Baca; Sejarah Kedokteran). Hemat penulis, itu merupakan penerapan yang sesungguhnya dari nilai-nilai Islam Rahmatalilalamin. Ya, Ibnu Sina telah menunjukkan kepada kita bahwa agama bukan saja tentang sibuk mengejar surga, tetapi tentang yang berjuang untuk membangun peradaban, menjaga kemaslahatan dan merawat perpanjangan hidup di alam sosialnya.

Menyaksikan keadaan ini, tentulah tumbuh keprihatinan mendalam bagi kita semua. Betapa tidak, kebesaran agama sebagai inspirasi dalam menata kehidupan dan daya tahan terhadap setiap goncangan perubahan, seketika runtuh menjadi tak lebih dari sekadar individu bisa meraih “kesuksesan akhirat” untuk diri sendiri dan kelompoknya. Dengan semangat keberagamaannya, mereka seakan tidak lagi peduli akan keselamatan diri dan orang lain di sekelilingnya. Padahal, tidakkah menjaga kehidupan dan kesehatan diri dan orang lain adalah “kewajiban” dan merupakan “fardu ain”?

Dalam fenomena semakin merebaknya sikap kukuh masyarakat untuk beribadah di masjid di masa pandemi, agama seolah keluar dari misi besaranya itu. Dikarenakan semangat kita yang terlampau ingin mengejar pahala berlipat, bisa jadi malah menjadi sumber bencana bagi yang lain. Ini yang menandakan bahwa misi besar ini telah takluk di bawah gelombang egoisme, di bawah sergapan apatisme. Akhirnya, misi rahmatalilalamin kehilangan makna transendentalnya dalam keberagamaan kita.

Perlunya Kejernihan Pikiran

Secara sosiologis, agama adalah cara hidup kolektif yang universal. Di mana tak ada satu kelompok masyarakat di dunia ini yang tak mengenal agama. Bagi umat manusia, agama adalah “way of life” yang menjadi spirit kita dalam menata kehidupan. Benar kata filsuf Yunani Kuno, Plato bahwa muatan nilai-nilai sebuah agama pasti memengaruhi seluruh proses hidup setiap manusia.

Begitu halnya Agama Islam, ia yang mengibarkan kesempurnaannya, tidak akan terlepas dari pergulatan dialektis hidup. Para ulama-ulama kita telah menunjukkan bahwa selalu ada ruang dialektika untuk menjawab persoalan-persoalan umat dalam perikehidupan. Itu terlihat dengan hadirnya fatwa ulama kita di saat ini. Perlu dipahami bahwa petuah ini telah melalui pengkajian-pengkajian mendalam dari sudut pandang agama (fiqh) tanpa mempertentangkan sains. Itu dapat dipertanggungjawabkan di mana mereka tidak sembarang mengeluarkan fatwa.

Inilah yang dimaksudkan bahwa agama dapat menjadi sumber jawaban permasalahan sosial dalam masyarakat. Seperti ungkapan Sosiolog Emile Durkheim bahwa agama mempunyai fungsi yang sangat strategis bagi manusia. Agama bukan saja sebagai “pemuas” batin kehidupan, melainkan juga memengaruhi dinamika sosial.

Menurut Durkheim, agama sebagai realitas masyarakat tidak dapat diartikan secara sederhana sebatas ritual sakral. Sebab, agama tidak saja berhubungan dengan kepercayaan kepada sesuatu yang suci. Agama juga bisa membangun hukum, aturan-aturan dan norma hidup. Singkatnya, agama menawarkan kaidah hidup yang ideal bagi kehidupan individual dan kelompok dalam kehidupan bermasyarakat.

Di sinilah situasi pandemik corona perlu dihubungkannya dengan pemikiran logis-rasionalitas. Bahwa sulit dimungkiri berpikiran jernih juga sangat menentukan dalam menjawab kompleksitas persoalan hidup kita saat ini. 

Dalam kaitannya dengan tafsir teks fatwa atau keputusan pendapat para ulama perihal peribadatan dan keberagamaan kita, hal ini sesungguh penyelarasan atas rumusan asas yang menjadi hukum dunia medis ketodekteran. Untuk keselamatan bersama.

Silfia Hanani dalam bukunya Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama telah menggambarkan kaitan ini secara gamblang. Baginya, beragama tidak cukup hanya mengutamakan dogmatisasi untuk ditafsirkan apa adanya. Tetapi, interpretasi agama juga sangat terbuka lebar untuk dijabarkan atau dideskripsikan dengan pendekatan keilmuan atau berpijak pada ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, praktik beragama tidak cukup hanya mengandalkan semangat menjalankan ritual, melainkan juga perlu melihat secara komprehensif, atau mendalami ilmunya. Bukan dengan mengkontraskan iman dengan pikiran. 

Dalam konteks ini agama perlu ditarik pada level praksis akal budi. Di masa pandemi ini, adalah berbahaya jika bernalar antara pemikiran yang berorientasi teologis dipisahkan dari fenomena sosiologis, terlebih ilmu pengetahuan. Saya jadi teringat seorang sufi agung, Ibn Athaillah, dalam karya tersohornya Al-Hikam. Tulisannya ini saya kira bisa menjadi permenungan bagi kita menghadapi masa-masa sulit ini. Ia menulis;

“Dan sekiranya engkau berkawan seorang bodoh yang tidak menurutkan hawa nafsunya, lebih baik daripada berkawan seorang alim yang selalu menurutkan hawa nafsunya. Maka ilmu apakah yang dapat digelarkan bagi seorang alim yang selalu menurutkan hawa nafsunya itu, sebaliknya kebodohan apakah yang dapat disematkan bagi seorang yang sudah dapat mengekang hawa nafsunya”. 

Pesan yang tersirat dari ungkapan yang amat dalam maknanya ini ialah mengajak kita untuk menghindari mendewakan hawa nafsu. Ia tepiskan nasihat itu pada kita agar tidak terjerembab dan tenggelam dalam bahtera nurani yang tidak diisi dengan pencerahan kalbu dan kejernihan pikiran. 

Ini amatlah penting. Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib, jangan sampai rumah kita Indonesia yang megah ini, semakin keropos dimakan rayap-rayap. Rayap-rayap itu tak lain adalah diri kita sendiri. Diri kita yang sombong. Diri kita yang tidak serius terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Dengan demikian, beragama dalam kehidupan seharusnya menjadi dasar bagi kita untuk meninggikan kebaikan bersama dan menanamkan kasih sayang sesama makhluk. Patut disayangkan, jika syariat agama justru dipahami secara kaku sehingga mendatangkan kerusakan hingga mendzalimi orang-orang di sekeliling kita. Ya, persembahyangan yang egoistik di situasi pandemi ini, hanya akan menjadi potensi bencana sosial bagi orang lain. 

Maka sebagai makhluk yang berpikir, sudah selayaknya kita menanggalkan semangat obsolutisme beragama, sebuah model beragama yang hanya mementingkan ego. Kita perlu mengedepankan jiwa yang luas, berpikiran luas dan bernalar semesta untuk keberlangsungan hidup seluruh manusia penghuni alam raya ini.

*Tulisan telah dimuat di Harian Parepos edisi Sabtu 9 Mei 2020

Tidak ada komentar

Kantor