Penulis: Nahrul Hayat, M.I.Kom (Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Parepare) Sepekan jelang Idul Fitri 2021 masyarakat Indonesia dikagetkan dengan...
Penulis: Nahrul Hayat, M.I.Kom (Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Parepare)
Sepekan jelang Idul Fitri 2021 masyarakat Indonesia dikagetkan dengan Pidato Presiden Jokowi yang menyebutkan beberapa makanan daerah untuk memeriahkan lebaran tahun ini. Bagian yang mengejutkan publik adalah disebutkannya makanan Bipang Ambawang asal Pontianak sebagai salah satu makanan yang direkomendasikan. Seperti biasa, sontak publik kembali ribut dan gaduh. Sosial media lagi-lagi dipenuhi komentar saling serang antara pendukung dan opposan.
Pada saat yang sama publik juga disuguhi berita terkait kisruh pemecataan 75 pegawai KPK. Belum cukup sampai disitu informasi polemik lainnya terkait serangan beruntun teroris KKB, masalah alutista pasca tenggelamnya Nanggala 402, persidangan Habib Rizieq dan penangkapan Munarman, terbaru larangan mudik di berbagai daerah yang bersamaan dengan kedatangan ratusan WNI Tiongkok, dan sederet wacana lainnya.
Tumpukan informasi tersebut tidak saja berhenti pada penyiaran TV nasional tapi berlanjut pada diskusi publik di ruang digital. Pada titik ini kemudian masalah menjadi semakin rumit ketika informasi sudah bergulir dan menyebar melaui akun-akun media sosial; ruang publik yang masih bebas dari kode etik jurnalistik (less-ethical public sphere). Bahkan Riset yang dilakukan oleh Microsoft tentang kesopanan pengguna internet sepanjang 2020 dalam laporan berjudul 'Digital Civility Index (DCI)', Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei untuk tingkat kesopanan, sekaligus menjadi yang terendah di Asia Tenggara. Laporan itu berdasarkan survei yang diikuti oleh 16.000 responden di 32 negara. Inilah gambaran “brutalitas” perilaku netizen Indonesia yang gagap terhadap perkembangan teknologi komunikasi.
Melimpah ruahnya informasi di era digital rentan dengan kesalahan interpretasi bahkan manipulasi informasi. Situasi ini yang kemudian disebut dengan Infodemik. Istilah infodemik kembali dipopulerkan oleh Warren Fernandes (2020), Pemimpin Redaksi The Straits Times dan President of the World Editors Forum yang berjudul: “Credible Media vital in fight against coronavirus and epidemic of fake news”. Menurut Fernandes, infodemik merupakan penyebaran informasi yang salah yang bisa merusak kepercayaan publik pada saat yang genting. Jauh sebelum itu konsep infodemik tahun 2010 sudah ditambahkan dalam kamus Wiktionary yang diartikan sebagai istilah informal terkait melimpahnya informasi yang berlebihan tentang suatu masalah tetapi sulit ditemukan solusinya.
Kekacauan informasi sebenarnya dapat dianalisis dari dua sisi. Pertama, dari sisi sumber informasi publik dalam hal ini media massa arus utama. Kedua, dari aspek perilaku komunikasi masyarakat termasuk pengguna sosial media. Media massa idealnya adalah saluran penyedia informasi sekaligus instrumen edukasi bagi publik. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tentang Pers. Yang menjadi masalah ketika media hanya mengumpulkan informasi dan menyebarkannya ke masyarakat tanpa agenda subtantif.
Yah, media harusnya memiliki agenda untuk melayani kepentingan publik sebagai tanggungjawab media yang menggunakan frekuensi publik (Baca UUD pasal 33 ayat 3). Perlu dipahami bahwa kepentingan publik tidak sekadar kuantitas informasi melainkan kualitas informasi. Yang lemah dari media hari ini adalah semangat investigasi. Kasus penting seperti mega korupsi bansos dan korupsi BUMN menjadi kabur dan tidak fokus. Yang lebih mencemaskan, media justru mendengungkan nada-nada perpecahan yang berkutat pada isu-isu ideologis. Isu ideologis inilah yang menjadi bahan bakar kekacauan informasi (disrupsi informasi). Sampai kapan publik diadu dengan isu radikalisme dan komunisme? Tidakkah kita jenuh saat sebagian besar isu publik yang diperdebatkan oleh netizen Indonesia hanya berujung pada saling labbelling, Kadrun versus Cebong? Padahal masalah real bangsa saat ini adalah krisis ekonomi dan pandemi.
Ruang publik hari ini kering makna. Segalanya serba spontan dan bersifat lalu belaka. Masyarakat terus dimabukkan dengan banjirnya terpaan informasi. Serupa dengan kutipan Filsuf Prancis (1981), Jean Baudrilladr yang mengatakan “we live in a world where there is more and more information, and less and less meaning”. Tak ada lagi narasi dan cerita yang menjadi perhatian bersama. Semua sibuk dengan keluh dan kisah masing-masing. Kita memang surplus narasi tapi defisit substansi. Ibarat diskotek yang ada dalam film, media seakan asik dengan pergantian alunan informasi yang begitu cepat dan tak beraturan. Ruang publik hanya menjadi tempat bagi masyarakat untuk tetap berdansa mengikuti hentakan nada dari ruang redaksi.
Miris ketika peristiwa penting hanya berhenti sebagai sensasi. Itu sebabnya publik kehilangan direksi untuk benar-benar mencari solusi. Keadaan ini mengingatkan kita dengan tesis Herbert Marcuse (2013) dalam bukunya “One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society is”. Bahwa masyarakat hari ini dikonstruksi untuk berperilaku sama. Kita diseragamkan untuk menjadi khalayak yang individualis dan apatis terhadap masalah kolektif sebagai sebuah bangsa. Kita fasih menyebutkan sila ke-3 PERSATUAN INDONESIA, namun tubuh kita gugub untuk mewujudkannya. Kohesi sosial telah dilumpuhkan oleh narasi adu domba, dan nalar kritis telah dibius oleh buzzer politik yang sibuk mencari untung dari konflik. Kita semua berharap semoga melalui momen Idul Fitri Tahun 2021 bangsa ini lebih akrab seperti sedia kala.
DAFTAR PUSTAKA:
Baudrillard, J.. Simulacra and simulations (1981). In Crime and Media (pp. 69-85). Routledge.
Fernandez, W. (2020). “Credible media vital in fight against coronavirus and epidemic of fake news.” www.straitstimes.com, 9 April 2020. Diakses 10 Meil 2021.
Marcuse, H. (2013). One-dimensional man: Studies in the ideology of advanced industrial society. Routledge.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20210225115954-185-610735/riset-netizen-di-indonesia-paling-tak-sopan-se-asia-tenggara. Diaksen 10 Mei 2021.
https://en.wiktionary.org/wiki/infodemic. Diakses 10 Mei 2021.
Pemerintah adalah penguasa, hukum dia miliki, pers dia miliki,aparat dia miliki,dan melanggar sejarah Demokrasi yg pernah ada isu pemindahan ibu kota tidak pernah di bicarakan di kampus kampus,semua ini karena sapi dibalik pinokio...
BalasHapusSalut dengan bapak 🙏🙏🙏 yang masi peduli dengan isu isu pembohongan publik di era jokowi
Pemerintah adalah penguasa, hukum dia miliki, pers dia miliki,aparat dia miliki,dan melanggar sejarah Demokrasi yg pernah ada isu pemindahan ibu kota tidak pernah di bicarakan di kampus kampus,semua ini karena sapi dibalik pinokio...
BalasHapusSalut dengan bapak 🙏🙏🙏 yang masi peduli dengan isu isu pembohongan publik di era jokowi