Page Nav

HIDE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Opini: Corona dan Efek “Crying Baby”: Perspektif Ilmu Komunikasi

Penulis: Nahrul Hayat, M.I.Kom (Dosen Komunikasi Penyiaran Islam) Tulisan ini bertujuan untuk   melihat perspektif lain dari perbi...


Penulis: Nahrul Hayat, M.I.Kom (Dosen Komunikasi Penyiaran Islam)


Tulisan ini bertujuan untuk  melihat perspektif lain dari perbincangan publik tentang Virus Corona. Pada awal Februari masyarakat dunia digemparkan dengan pemberitaan pandemi Corona, Virus asal Wuhan, Tiongkok. Bahkan pada 13 Maret 2020, organisasi kesehatan dunia WHO menetapkan status Corona Virus Desease 19 Covid-19  sebagai Pandemi Global. Dengan sendirinya, penyakit Virus yang mematikan ini menjadi topik pemberitaan utama pada media mainstream. Di Indonesia,  Presiden  Joko Widodo mengumumkan bahwa terdapat dua warga Indonesia yang positif terinfeksi Virus Corona dan mengidap Covid-19 pada tanggal 2 Maret 2020. Sontak semua kamera media berbondong-bondong menyorot pengumuman ini dan disebarkan secara masif ke masyarakat iIdonesia.

Urgensi Berita Corona

Terlepas dari dampak kesahatan dan ekonomi yang menjadi liputan utama media, ada hal lain yang menarik ditelaah dari pemberitaan Virus Corona.  Dalam perspektif  ilmu komunikasi massa, media massa seperti televisi, radio, dan surat kabar adalah saluran komunikasi yang paling efektif menyebarkan informasi ke masyarakat luas. Studi Nielsen Media Research pada 2018 menunjukkan bahwa durasi menonton  televisi (TV)  masyarakat Indonesia masih tertinggi dibanding konsumsi media lainnya, yaitu rata-rata 4 jam 53 menit setiap harinya, durasi mengakses Internet menjadi tertinggi kedua yaitu rata-rata 3 jam 14 menit per harinya. Hal ini menenunjukkan bahwa ketergantungan informasi masyarakat Indonesia terhadap media TV masih tinggi.  Lebih lanjut, media dalam diskursus teori komunikasi dipandang sebagai pilar keempat demokrasi yang memilki kekuatan penentu dinamika kehidupan politik melalaui opini publik (baca: komunikasi politik). Salah satu teori yang bisa menjelaskan dengan baik hal ini adalah teori Agenda Setting.

Teori Agenda Setting meyakini bahwa media dapat menentukan apa yang dianggap penting oleh publik, dengan kata lain agenda media dapat menentukan agenda publik. Masifitas pemberitaan isu Corona jelas menjadi agenda utama pemberitaan media beberapa pekan terakhir. Suspect Corona, harga masker, hoax, bahkan penipuan Corona serentak menjadi sajian utama media mainstream dalam setiap program beritanya. Hal ini sepintas adalah sesuatu yang normal mengingat kebutuhan informasi masyarakat terkait perkembangan informasi Virus Corona cukup tinggi. Tapi benarkah pemberitaan massif ini benar-benar  menjadi kebutuhan publik? Benarkah masyarakat butuh “ditakut-takuti” hantu Corona? Benarkah konsumen butuh dipanikkan dengan harga masker yang meroket?

Mari sejenak melihat ke beberapa waktu ke belakang. Sebelum “hantu” Corona bergentayangan di ruang publik masyarakat Indonesia, sederet isu publik menjadi topik pemberitaan media. Sebut saja, drama pencarian Harun Masiku, kasus korupsi BUMN Jiwasraya dan Asabri, hingga yang masih hangat adalah kontroversi Omnibus Law. Tiga contoh isu ini ketika dibandingkan dengan isu Corona, sama-sama menyangkut kepentingan publik. Harun Masiku misalnya, sosok yang menjadi kunci penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi, bahkan peliputan kasunya memiliki nilai berita yang tinggi karena menyeret nama partai penguasa dan penyelenggara pemilu di Indonesia. Korupsi BUMN Jiwasraya dan Asabri, dua kasus mega korupsi yang ditaksir merugikan keuangan negara belasan trilliun Rupiah. Bisa dibayangkan jika uang korupsi tersebut dimanfaatkan untuk “melawan” Virus Corona. Bukankah Kementerian Kesehatan masih mengeluhkan banyaknya rumah sakit di beberapa kota besar Indonesia yang masih kekurangan peralatan uji coba dan laboratorium untuk penanganan Virus Corona. Selanjutnya, isu Program Prioritas Legislasi Nasional Rancangn Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) yang diklaim oleh pemerintah sebagai Undang-Undang sapu jagat untuk memudahkan prosedur investasi dan dianggap menjadi salah satu strategi di bidang ekonomi. Meski demikian, tidak sedikit elit dan pakar yang menolak RUU ini karena dianggap merugikan rakyat kecil terutama kaum buruh. Kenyataan hari ini, agenda pemberitaan ketiga kasus tersebut seolah teralihkan oleh “kekhawatiran” Virus Corona.

The Crying Baby Effect

Istilah “crying baby” mungkin masih asing bagi publik, sementara makna denotatifnya adalah “bayi yang menagis”, crying baby sebenarnya adalah sebuah metafora teoritik digunakan penulis untuk mengambarkan fenomena sosial politik dari perspektif ilmu komunikasi. Makna konotatifnya merujuk pada agenda setting media yang memprioritaskan isu Virus Corona dengan mengesampinkan isu publik lain yang tidak kalah penting. Ibarat bayi yang sedang menangis, masyarakat Indonesia di tengah kesulitan ekonomi harus menunda tangisannya karena “ditakuti-takuti” oleh Virus Corona. Bukankah bayi yang sedang menangis meminta air susu pada “ ibunya yang telah pergi” dapat ditenangkan oleh sang ayah dengan “menakut-nakuti” sang bayi. Rakyat itu seperti bayi, menahan rasa lapar dan menunggu air susu dari Ibu Pertiwi. Pemaknaan simbolik inilah yang bisa menjadi perspektif kritis atas perilaku media yang kurang proporsional (baca: komunikasi massa) dalam pemilihan isu (Priming) dan pembingkaian (framing) informasi. Kita semua sadar akan kebutuhan informasi tentang Virus Corona, tapi publik juga berhak menerima informasi yang berkualitas. Kualitas pemberitaan Virus Corona tidak diukur dari sejauh mana media mampu memberikan rasa takut dan kepanikan bagi publik, tapi lebih dari itu informasi Corona harusnya juga menonjolkan fakta-fakta “menenangkan” dari Virus Corona. Pemberitaan tengtang jumlah kesembuhan dari Virus Corona belum sebanyak dengan peliputan harga masker yang melonjak. Surplus berita masker ini justru berpotensi menambah rasa panik warga. Padahal, per tanggal 3 Maret jumlah orang yang sembuh dari Virus Corona sebanyak 4.558, sedangkan korban yang meninggal sebanyak 3.085. Seringkali kita lebih banyak menyimak berita kematian dari pada informasi kasus kesembuhan yang bisa dijadikan referensi bagi publik. Berikutnya informasi strategi penindakan dan sosialisasi pencegahan masih lebih kurang dibanding berita penyebaran dan jumlah kasus suspect baru. Di luar itu semua, harusnya media tetap meyisakan space yang cukup untuk isu publik lain seperti yang dicontohkan sebelumnya. Publik juga butuh untuk mengawasi proses hukum yang menyangkut uang rakyat sebagaimana fungsi pengawasan media (surveillance) dalam buku Media Effect  and Society yang ditulis oleh Elizabeth M. Perse.

Sudah selayaknya media kembali pada fungsi sosialnya sesuai regulasi yang ada. Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 telah menegaskan bahwa selain sebagai sarana penyebaran informasi, media juga berfungsi sebagai sarana pendidikan. Pemberitaan media terkait Virus Corona mestinya mengutaman dimensi edukasi kesehatan bukan publikasi kepanikan. Dapur redaksi media harus kembali merujuk kepada “resep” jurnalistik yang sudah tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik. Khusus media Televisi berita, hendaknya senantiasa beroperasi dengan berdasar pada rambu-rambu dalam Pedomen Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang ditentukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Demikian juga asas dari Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 yang bertujuan untuk melayani hak masyarakat untuk mengetahui, “People’s Right To Know”. Di sisi lain publik juga harus mampu menerjemahkan informasi dengan bijak sebagimana yang diperingatkan oleh Peter Drucker, “The Most Important Thing In Communication is Hearing What Isn’t Said”. Peter seolah memberikan petunjuk bahwa hal penting dalam menerima informasi dari media (massa) adalah mendengarkan apa yang tidak diberitakan.

1 komentar

Kantor