Page Nav

HIDE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Opini: Pesan Simbolik Omnibus Law dan Kekuasaan

Penulis: Afidatul Asmar (Dosen Komunikasi Penyiaran Islam) Untuk mengawali tulisan ini mari kita mendalami kata-kata yang kerap di...



Penulis: Afidatul Asmar (Dosen Komunikasi Penyiaran Islam)


Untuk mengawali tulisan ini mari kita mendalami kata-kata yang kerap diartikulasikan oleh Abraham Lincoln “ Hampir setiap manusia bisa tahan sengsara, tapi jika anda ingin menguji watak sejati mereka, beri mereka kekuasaan”.

Sebuah benturan yang menjadi tanda bernostalgianya tulisan ini bersama masa-masa kemerdekaan Indonesia yang pernah dipimpin oleh kekuasaan semenjak periode tahun 1966 hingga 1998. Meminjam pandangan Sri Budi Eko Wardani, Pengajar Ilmu Politik di Univeresitas Indonesia, untuk Suharto ada faktor Konstitusi. “Faktor konstitusi yang tidak ada aturan pembatasan kekuasaan presiden yang dikombinasikan dengan regulasi pembatasan kebebasan politik seperti pembatasan jumlah partai, desain sistem pemilu tertutup, undang-undang subversi dan sebagainya”.

Pada banyak penelitian dan eksperimen itu menunjukkan bahwa ketika seseorang meraih kekuasaan, mereka mendapat sedikit hambatan. Ini dapat diukur sejumlah anak, keluarga, bahkan orang berkuasa yang melakukan perilaku tanpa memandang aturan yang ada. Yang dipertegas oleh Dacher Keltner tentang isu 10 Tahun dalm bukunya The Power Paradox “ dua dari pertiga perilaku tidak stabil dilakukan orang dengan kekuasaan. Itu data empiris”. Namun seiring berjalan waktu zaman memberi harapan dalam kaidah Islam dikenalnya masa-masa dimana para ajaran terutama nabi dengan eksistensi agama juga wahyu memberi harapan yang kemudian berusaha di asumsikan Aleksandra Cislak, mengidentifikasi dua aspek kekuasaan di Tahun 2018. “Kekuasaan memberi kontrol terhadap kehidupan orang lain, tapi juga kontrol terhadap kehidupan mereka”. Yang berarti kekuasaan nyatanya, memiliki sisi positif. Namun ketika kontrol itu lenyap, sisi koruptif kekuasaan itu lebih dominan.

Arah Baru Jalan Panjang
Dalam Undang-undang Dasar 1945 kita menemukan kutipan teks “mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia” dalam tafsiran simbol pemaknaan gerbang ada salah satu strategi panjang yang ditafsirkan para pendiri bangsa agar kelak kita mampu membawa kemerdekaan kedalam halaman, ke rumah bahkan wujud dari kemerdekaan setiap hak masyarat Indonesia.

Tentunya jalan panjang tersebut telah menghasilkan berbagai metode, cara bahkan pergulatan seluruh elemen kebangsaan Indonesia. Tak terkecuali dengan aturan Omnibus Law yang menurut sejumlah pakar dan media mengalami penolakan. Pertanyaannya kemudian apakah aturan tersebut tak khayal pernah kita ukur untuk kemajuan, keterbukaan, bahkan memandang Bahwa seluruh masyarakat Indonesia adalah tuan rumah atas bangsa dan negara yang kita cintai ini.

Dalam perjalanan sejarah, kita mampu membandingkan melalui tulisan, referensi, bahkan forum-forum ilmiah sampai warung kopi, bagaimana sesaknya aturan untuk kita dengar, apalagi dikala ingin memberi masukan. Namun hari ini, semua itu telah ditepis sendiri oleh kekuasaan hari ini. Dimana tahapan-tahapan didalam penjatuhan undang-undang omnibus law tetap mengupayakan/ mendengarkan semua aspirasi yang kemudian nantinya dibawa kembali ke dalam rapat pemerintah yang dalam kaidahnya  dikenal sebagai daftar inventaris masalah (DIM).

Indonesia hari ini tidak bisa lagi mundur, ataupun berdiri tanpa menghasilkan masyarakat yang memiliki daya saing tersendiri. Industri 4.0 merupakan salah satu unsurnya tercapai dengan menghadirkan omnibus law bagian dari kendaraan tersebut. Yang secara asas simbol, kekuasaan berupaya memberi kabar: “bahwa cara lama yang begitu rumit dan menghabiskan beberapa anggaran ingin di persempit agar memudahkan suluruh masyarakat memperoleh hak dengan baik”. Selanjutnya pada tahapan aturan kekuasaan hari ini untuk mengukur kesalahan ataupun kekeliruannya sangatlah mudah. Karena hampir seluruh regulasi dilaporkan baik berupa laporan rapat formal, melalui kegiatan sampai tidur dalam kegiatanpun tidak luput dari media, ini sekaligus menjadi penanda sangat mudah untuk diakses. Pada tahapan yang dalam perkembangannya kita hanya terrjebak pada kulit luarnya bahwa untuk menjaga kestabilan negara hanya dengan menyatakan tidak atu menolak setiasp aturan kekuasaan. Yang pada hakikatnya cara itu telah lama terkubur dengan masa-masa kekuasaan yang serjatinya tidak pernah memandang masyarakat sebagai ummat yang memerapkan pola kehidupan baik sebagai produsen, konsumen, sebagai pemikir juga pelaksana, hingga puncak yang tidak hanya mampu menjadi pengkritik namun hadir memberikan solusi.

Titik Temu Simbolitas
Simbol yang dimaksudkan dari tulisan ini adalah sebua tanda dan penanda didalam memahami realita terkait aturan omnibus law. Tidak hanya terkhusus kepada pasal, bab dan regulasinya. Namun berusaha mengangkatr sisi lain terkait kebijakan aturan dikeluarkan, tahapan-tahapannya, bahkan mengapa masyarakat perlu mengambil sikap sendiri, bukan hanya sebagai pemeran penonton dalam negara sendiri.

Persoalan pasal terkait omnibus law yang diributkan sekiranya teks tertulis sudah lama dan hampir menjadi perdebatan naluri masyarakat yang mengklaim dirinya sebagai kelompok-kelompok yang dirugikan. Namun dari berbagai penulusuran baik media online maupun cetak penulis dalam hematnya beranggapan hal ini disebabkan diataranya: Pertama, Kurang sosialisasinya kepada seluruh masyarakat dan keterbukaan setiap partai yang ada di perwakilar rakyat saja yang perlu di tekan agar mampu menyamakan pandangan. Kedua, kalo dikatan semua golongan masyarakat yang berunjuk rasa sekiranya data yang diperoleh tidak hanya disuarakan oleh satu golongan saja,. Yang kemudian memberi pandangan mewakili kelompok yang lain. Sekiranya masyarakat kita hari ini sudah sangat cerdas didalam menilai, apakah persoalan yang diangkat sumbernya atas tujuan bersama atau hanya beberapa kelompok saja.

Ketiga, kurang mampunya kita menyadari perkembangan jaman bahwa kesadaran untuk mengakui itikad baik dari kekuasaan toh pada hakekatnya telah terang dan mengarah kepada apa yang menjadi keresahan kita selama ini. Keempat, kekuasaan sangat berperan penting membangun budaya masyarakat untuk membentuk karakter daya saing, mampu menerima perkembangan zaman serta identitas kebangsaan.

Karena hubungan antara kekuasaan dan masyarakat terkait lingkaran aturan omnibus law sejatinya merupakan dimensi didalam menekankan ciri, perilaku, kekuasaan dan pengaruh, serta situasi yang sifatnya terkait bangsa yang dalam kaidah agama Islam “(Almuhafadhatu ‘alal qadimi as sholeh wal akhdu bi aljadid ilashlah), memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru.”

Akhirnya untuk menutup tulisan ini  terkait kabar simbol kekuasaan ini, masyarakat harus mampu masuk ke dalamnya, menjadi bagian dalam aturan sekaligus mengukur dan menentukan sendiri baik ataupun buruknya suatu aturan. Bukan memilih menjadi teks-teks kritikus yang nantinya post-post tersebut diambil alih dari yang tidak mampu menggambarkan kondisi masarakat, bangsa dan negara indonesia yang kita cintai ini. Seperti halnyua hadits Rasulullah yang berbunyi “Barang siapa yang mengerjakan dalam Islam tradisi yang baik, maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya sedikitpun.” (HR Muslim).

Tidak ada komentar

Kantor