Page Nav

HIDE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Opini: Coronavirus dan Konsekuensi Modernitas

Penulis: Mahyuddin, M.A (Dosen Sosiologi Agama ) Coronavirus (COVID-19) merupakan penyakit krusial yang kini menjadi  menjadi masal...



Penulis: Mahyuddin, M.A (Dosen Sosiologi Agama)


Coronavirus (COVID-19) merupakan penyakit krusial yang kini menjadi  menjadi masalah dan ancaman global. Betapa tidak, pada awalnya pendemi ini hanya berpusat di negara Cina tepatnya di Wuhan namun kini telah menyebar di berbagai penjuru dunia. Banyak negara telah menaruh kewaspadaan terhadap kehadiran virus ini. Negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura, Vietnam, Jepang, Iran, Brazil, Amerika telah disibukkan mengurusi virus berbahaya ini. Yang terbaru negara-negara maju seperti Italia, Inggris, Spanyol, Prancis telah menetapkan darurat nasional Corona dengan menerapkan lockdown, yaitu isolasi dengan menutup akses kota dan layanan-layanan publik.

Fenomena sosial yang bisa diamati di ranah ini adalah virus ini ternyata dari satu negara ke negara lain mengalami penyebaran siginifikan. Ia telah menjadi persoalan serius yang tengah dihadapi oleh berbagai negara. Sebagaimana dikatakan Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa Coronavirus merupakan ancaman global paling berbahaya saat ini. Negara-negara perlu melakukan tindakan preventif untuk mencegah lebih banyak lagi korban jiwa.

Dalam kondisi ini, sebuah pertanyaan besarnya adalah mengapa virus Corona begitu cepat menyebar ke berbagai penjuru dunia?. Corona yang pada awalnya pertama kali terdeteksi  di Wuhan Cina (Asia) akhir tahun lalu, kini telah berhembus demikian cepatnya di seluruh belahan benua seperti Eropa, Amerika,  Afrika hingga Australia.

Janji Kecepatan dan Ancaman Coronavirus

Harus diakui bahwa teknologi sebagai penciri kehidupan masyarakat modern adalah salah satu produk manusia yang paling sempurna. Teknologi transportasi misalnya, manusia dalam sejarahnya telah mampu menjelajahi belahan dunia lantaran penemuan teknologi yang satu ini. Teknologi transportasi darat, laut dan udara telah memudahkan masyarakat untuk melancong ke negara-negara lain, baik untuk tujuan ibadah (mengunjungi Mekkah bagi umat Islam, dan Roma bagi umat Kristan), ekplorasi wisata ke negara lain atau sekadar menghabiskan waktu senggang untuk berlibur. 

Di era globalisasi ini, kemudahan bepergian menjadi entitas baru bagi kehidupan manusia modern di mana mengunjungi negara-negara luar menjadi bagian dari kebudayaan tersendiri masyarakat. Teknologi transportasi adalah penunjang penting lahirnya budaya tersebut. Yaitu kecepatan menyebabkan lalu lintas kunjungan umat manusia ke berbagai negara semakin masif. Singkatnya, teknologi transportasi menawarkan kemudahan hidup untuk merasakan sensasi berlibur di negara lain.

Namun, di balik janji kecepatan tersebut bukan cuma manusia yang mudah berpindah ke suatu tempat ke tempat yang lain. Pun virus begitu cepatnya berpindah dari tubuh manusia ke manusia lainnya dalam lintas negara. Kita saksikan korban virus ini telah mengjangkiti puluhan ribu orang, dan menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Di negara Cina Tiongkok terdapat 80.793 kasus dengan jumlah kematian 3.169, Italia berjumlah 15.113 kasus dengan jumlah kematian  1.016, Iran berjumlah 10.075 kasus, jumlah kematian 429, Korea Selatan dengan 7.979 kasus, jumlah kematian 67, Spanyol dengan 2.965 kasus, jumlah kematian 84 (Kompas). Di Indonesia sendiri pemerintah melalui pejabat yang berwenang telah mengumumkan 134 kasus  COVID-19 pada tanggal 16 maret 2020.  (detik.com).

Hampir sebagian besar negara-negara di berbagai belahan dunia telah melaporkan kematian dan melakukan tindakan lockdown. Norwegia memberhentikan sementara setengah stafnya, Italia meliburkan sekolah-sekolah, pemerintah Nepal menutup akses pendakian Gunung Everest, hingga otoritas Sepakbola Eropa telah menunda bergulirnya liga untuk batas waktu yang belum ditentukan bersebab ancaman coronavirus yang horor itu.

Masyarakat Modern dan Kultur Risiko

Bila membaca fenomena global yang amat serius ini dari kaca mata sosiologi, sesungguhnya ancaman semacam ini telah diramalkan oleh para sosiolog dan teoritikus posmodern. Sebut saja seorang profesor sosiologi kontemporer Anthony Giddens. Dalam bukunya The Consequnces of Modernity, Giddens menawarkan suatu teorisasi modernitas sebagai kultur risiko. Dengan melihat hubungan secara dialektis transformasi lembaga-lembaga modern, ia berkeyakinan bahwa “modernitas adalah pedang bermata dua, yang membawa pengembangan positif sekaligus juga negatif. 

Menurut Giddens, risiko dan konsekuensi tinggi adalah ancaman masyarakat modern sebagai konsekuensi logis dari modernitas atau kemajuan mutakhir akibat globalisasi. Giddens menggambarkan modernitas sebagai sebuah lokomotif yang mengawal perubahan yaitu sebuah mesin yang berlari cepat dengan tenaga yang besar dan melaju tanpa kendali. Ia mengambil  contoh “industrialisme” yang melibatkan sumber-sumber tenaga mati dan mesin untuk produktifitas umat manusia. Bagi Giddens, industrialisme tidak terbatas pada tempat kerja, tetapi ia berpengaruh pada kesatuan pengaturan lain seperti transportasi, komunikasi, dan kehidupan domestik. Giddens mendasarkan argumentasinya pada fenomena kehidupan masyarakat modern yang tidak lagi menjadikan jarak dan waktu sebagai masalah sebab hadirnya “modernitas” membuat “ruang menjadi terpecah dan mata rantai antara waktu dan ruang diputus”. 

Bila kita hubungkan dengan fenomena merebaknya pendemi coronavirus, sesungguhnya teori Giddens ini sangat relevan untuk membaca kasus corona. Di abad ini, dengan datangnya modernitas, ruang semakin terkoyak dari tempat. Hubungan-hubungan dengan orang-orang dari berbagai negara luar menjadi semakin dimungkinkan. Seperti yang dikemukakan Giddens bahwa tempat telah menjadi semakin “fantasmogorik” yakni, “lokal-lokal dapat diterobos”. Proses modernitas memudahkan seseorang berjalan dan bergeser ke berbagai ruang (wilayah/negara) dengan sangat cepatnya. 

Efek nyata yang bisa dilihat dari pendemi Coronavirus adalah ia begitu cepatnya menerabas wilayah akibat interaksi umat manusia yang mendobrak dinding pemisah untuk menjalin kontak (relasi sosial) dengan orang-orang luar. Demi berwisata dan bepergian untuk urusan tertentu, masyarakat menjalin penyatuan global yang dipelopori perkembangan moda transportasi. Namun, globalisasi yang membuat dunia menjadi kehilangan batas ukuran tersebut, hadir bersamaan dengan mewabahnya penyakit Coronavirus secara global.

Mobilitas umat manusia ini memang menjadi penanda utamanya. Negara-negara yang pada awalnya tidak protektif membatasi laju gerak masyarakat setelah WHO mengumumkan darurat global pendemi Coronavirus bagi umat manusia, membawa konsekuensi pada penyebaran atau penularan wabah tersebut. Ini seolah membenarkan pernyataan Giddens yang tidak lupa mengingatkan bahwa pada perjalanan modernitas terkadang tidak selalu menyenangkan. Kita tidak dapat mengendalikan dengan aman sepenuhnya, karena medan yang dilaluinya penuh dengan risiko dan konsekuensi tinggi.

Masyarakat Risiko

Selain Giddens yang banyak mencurahkan pemikirannya pada masalah perkembangan modernisasi, globalisasi serta realitas masyarakat modern, teoritikus lain yang turut memprediksi ancaman risiko global ialah Ulrich Beck. Dalam bukunya Risk Society: Towards a New Modernity, Ulrich Beck menyebut bahwa dalam masyarakat industri, risiko, dalam derajat yang besar, sedang dihasilkan di dalam masyarakat modern. Secara spesifik, industri dan efek sampingnya sedang menghasilkan suatu deretan luas konsekuensi-konsekuensi berbahaya bahkan mematikan bagi masyarakat (Ritzer, 2011). 

Menggunakan konsep-konsep waktu dan ruang, Beck menunjukkan bahwa risiko-risiko modern ini tidak terbatas pada tempat. Ia mencontohkan pada kehadiran teknologi nuklir di mana sebuah kecelakaan nuklir di dalam suatu lokal geografis dapat memengaruhi banyak bangsa lain atau suatu kecelakaan nuklir dapat mempunyai efek-efek genetik yang dapat memengaruhi generasi-generasi masa depan.

Terlepas dari kehadiran Coronavirus ditengarai disebabkan oleh penyebaran virus kelelawar, ular dan binatang lainnya (baca; penyebab corona). Namun sisi lain yang menjadi perdebatan hangat hingga saat ini adalah beberapa pihak menduga bahwa Coronavirus merupakan buatan manusia yang secara sengaja dibawa ke Cina. 

Akun Twitter terverifikasi juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Zhao Lijian, menulis kata-kata keras dalam bahasa Inggris dengan mengatakan bahwa Amerika Serikatlah yang membawa virus tersebut ke Cina sebagai balasan kritik atas pernyataan Penasehat Keamanan Nasional AS Robert O’Brien yang mengatakan Pemerintah Cina tidak transparan dalam mengelola virus Corona dan terkesan lambat sehingga merugikan dunia selama dua bulan (Tempo). Tak pelak, Zhao Lijian melayangkan pernyataan provokatif yang menyebut “mungkin tentara AS yang membawa epidemi ini ke Wuhan”. Kapan pasien nol dimulai di AS? Berapa banyak jumlahnya? Jadilan transparan! Beberkan data kalian ke publik! AS berutang penjelasan! Tweet Zhao, dikutip dari Reuters, 13 Maret 2020.

Kita tentu saja tidak ikut serta larut dalam dinamika hubungan politik AS-Cina. Pun tidak sedang mengamini benar tidaknya saling tuduh antara pemerintah Cina dan Amerika, tetapi mencoba menghubungkan dengan tesis Ulrich Beck yang mempertanyakan risiko sosial kemajuan. Bagi Beck, takdir modernitas lanjut sama dengan hidup dalam risiko.  Ia mengatakan bahwa di dalam masyarakat risiko saat ini, keadaan menjadi tidak pasti, karena kemungkinan buruk dapat dapat saja terjadi. Hal yang dimaksudkan oleh Beck adalah meskipun masyarakat telah mendapatkan kemajuan-kemajuan teknologi di segala aspek kehidupan yang menjanjikan kemudahan, efisiensi, serta peningkatan produktivitas, namun kehidupan manusia masa kini lebih diwarnai ketidakmenentuan dan risiko yang sewaktu-waktu dapat mengancamnya. 

Hadirnya Coronavirus di tengah masyarakat modern yang mampu menguasai alam semesta berkat jasa teknologi, hingga akhirnya manusia mampu menjelajahi belahan-belahan dunia, adalah bukti nyata betapa risiko sosial memang masih menjadi masalah sentral bagi kehidupan manusia. Kemudahan bepergian dengan teknologi moda transportasi, justru membawa sebuah mimpi buruk bagi sebagian besar umat manusia saat ini.

Jika  pendemi ini benar-benar bersumber dari tularan virus binatang, maka ada benarnya apa yang disebut Beck sebagai Resiko Fisik Ekologis (psysical-ecological risk) yaitu aneka kerusakan fisik pada manusia akibat “diproduksi” aneka risiko biologis melalui aneka makanan, hewan ternak yang menciptakan penyakit menular dan mematikan. Sebaliknya, adapun jika penyakit itu adalah benar diproduksi oleh manusia (man made risk), maka inilah yang disebut oleh Beck sebagai “risiko sosial” yaitu ditumbuhkannya penyakit pendemi akibatnya ketakpedulian, egoisme, dan immoralitas demi mengambil keuntungan dibalik resiko tersebut.

Coronavirus adalah manifestasi dari kemajuan yang unpredictable dan membawa consequences.  Adalah benar apa yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas, salah satu teoritikus kritis kenamaan abad modern bahwa modernitas merupakan proyek yang belum selesai. Rasionalisasi sistem dan dunia kehidupan yang selalu berorientasi pada kelimpahan materi (profit oriented) di era masyarakat industri tidak sedikit melahirkan kompleksitas persoalan yang tercakup di dalamnya (Baca- One Dimensional Man). Hasilnya bahwa meskipun kita mungkin menikmati buah-buah rasionalisasi sistem dalam bentuk keuntungan ekonomi di mana negara membuka seluas-luasnya akses wisata sebagai salah satu sumber pendapatan (income) penting di abad ini, namun kita juga sedang dihantui risiko besar yang jauh lebih mengerikan dan dapat melululantahkan ekonomi negara.

Apa kabar Risk Society? Janji akan kecepatan, janji akan kemajuan, janji akan berbagai kemudahan, janji akan peningkatan produktivitas memang sedang kita nikmati namun di balik kemudahan-kemudahan itu juga ada suatu risiko sosial unpredictable yang mengancam kita setiap saat. Benar risiko diproduksi secara global tetapi ia ditanggung secara individual. Dampak boomerangnya tidak hanya karena catastrophe (malapetaka) tetapi juga pandemic (penyakit wabah) yang mengancam eksistensi umat manusia di permukaan bumi. 


Tidak ada komentar

Kantor